Google
 
<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5589029613667165524\x26blogName\x3dCatatan-Catatan+Hati\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://amriltg.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://amriltg.blogspot.com/\x26vt\x3d-3370372093065228379', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Sabtu, Agustus 11, 2007

DESPERATE SEEKING CHILD - AN EPIC STORY

Di pucuk alam, saya menyaksikan kedua anak saya, Alya dan Rizky, tertidur pulas. Putra tertua saya. Rizky, meringkuk bersama guling disampingnya. Dengkur halus terdengar dari bibirnya yang mungil. Tak jauh dari situ, adiknya, Alya terlihat sedang mendekap erat leher ibunya. Salah satu kaki anak bungsu saya tersebut berada diatas paha bundanya yang juga sedang "berlayar ke alam mimpi" sembari memeluk kedua buah hatinya itu.

Saya tersenyum.


Betapa cepat waktu berputar. Ingatan saya mendadak terlontar pada suatu petang yang muram akhir tahun 2001. Istri saya duduk dengan wajah murung di atas kursi rotan panjang pada ruang tamu rumah kontrakan kami di Taman Aster Cibitung.


Merenung lama. Kesedihan terlihat menggayut diwajahnya.


Saya sudah tahu apa maksudnya.


Setelah resmi menjadi istri saya bulan April dua tahun sebelumnya, saya seperti dibekali sebuah karunia magis untuk menebak apa sesungguhnya yang istri saya fikirkan saat itu. Karunia yang sebenarnya saya tidak tahu dari mana asal muasalnya. Apakah itu karena hubungan biologis kami yang begitu intens yang menyebabkan simpul-simpul syaraf tergetar antar kami dan mengalirkan "sixth sense" atau karunia itu merupakan warisan genetis dari keluarga saya (siapa tahu kan'saya memiliki kemampuan ala Deddy Corbuzier atau David Copperfield tanpa saya sadari ?) atau bisa jadi sebab terakhir : saya begitu sering menyaksikannya merenung pilu seperti ini.


"Pasti kamu resah soal anak lagi ya?," saya "menembak" langsung ke titik utama pembicaran. Membuyarkan lamunan..


Istri saya tidak menjawab. Ia hanya menggigit bibir. Tiba-tiba air mata menggenang dipelupuk mata dan perlahan membasahi pipinya. Saya trenyuh dan duduk disamping perempuan kelahiran Yogya yang sangat saya cintai itu seraya meraih kepalanya didada saya. Membuatnya sedikit lebih nyaman berbagi kegundahannya bersama saya.


"Baru dua tahun kok. Anggap aja kita masih pacaran," saya menggumam getir mencoba menghiburnya. Dalam sanubari, saya sebenarnya merasakan kegundahan serupa. Hati saya ikut teriris bila menyadari fakta bahwa di tahun kedua usia pernikahan kami, Allah SWT belum mempercayakan amanah seorang anakpun kepada kami berdua. Tapi saya berusaha tegar dan tak larut dalam kepedihan itu.


"Sudah dua tahun…masa' mau pacaran terus?", tukas istri saya dengan nada tinggi.


"Paling tidak," saya mencoba berkilah,"kita coba ambil hikmahnya,. Allah SWT justru begitu menyayangi kita sehingga belum memberikan karunia itu karena kondisi perekonomian kita yang mungkin kurang memungkinkan mengasuh dan membesarkan anak. Atau bisa juga.."


"Tapi bagaimana dengan keluarga-keluarga yang miskin ?., Mereka tetap dikaruniai anak tidak hanya satu tapi lebih dari itu!. Padahal kemampuan perekonomian mereka masih jauh dibawah dari kita!" potong istri saya sengit. Matanya tajam menyala Ada kilat putus asa membayang disana.


"Jangan pernah mempertanyakan itu. Apakah nasib yang kita alami saat ini, adil atau tidak. Semua adalah menjadi rahasia Allah SWT. Boleh saja secara finansil kita lebih mapan dari mereka. Tapi secara emosional, siapa tahu justru mereka yang lebih tangguh dan lebih kuat dari kita," saya memberikan argumen dengan suara selembut mungkin.


Istri saya mendengus kesal. Ia bangkit dari tempat duduk, bergegas masuk ke kamar kami. Saya tahu ia pasti menangis disana. Selalu begitu. Selalu.



Saya menghela nafas panjang. Betapa berat cobaan yang kami hadapi.


Setiap usai sholat berjamaah, tak henti-hentinya kami memanjatkan doa agar Allah SWT menganugerahkan kami keturunan. Air mata kami berdua berlinang membasahi pipi disela-sela lirih suara doa kami. Setelah itu kami berpelukan erat, membagi kesedihan dan beban yang menghimpit hati satu sama lain. Saya membelai kepala istri saya yang masih mengenakan mukena. Baju koko saya basah oleh airmatanya yang terus berderai. Demikian pula selalu kami lakukan ketika usai sholat tahajjud malam. Dalam keheningan, kami berdua seakan larut dalam khusyu' doa penuh tawadhu' agar anak yang kami impikan dapat segera hadir, mengisi hari-hari kami dengan tawa dan canda riang.


Pada sebuah kesempatan menonton televisi bersama, mendadak tangis istri saya meledak. Di tayangan yang sedang kami saksikan bersama tersebut ditampilkan sosok wanita yang masih berusia muda dan duduk di bangku SMA yang melakukan aborsi bersama sang pacar. Ia sedang diinterogasi petugas kepolisian saat kepergok akan mengubur bayi hasil hubungan gelapnya di kebun belakang rumahnya.


Sungguh hati kami berdua sangat remuk dan terluka menyaksikannya. Ketika kami sangat mendambakan kehadiran anak, ada pasangan—yang tidak resmi dalam sebuah ikatan pernikahan—dengan keji membunuh dan membuang jabang bayi hasil hubungan intim mereka. Istri saya sangat geram. Tak henti-hentinya ia mengutuk perbuatan perempuan muda dan pasangannya itu.


Pada hakekatnya jika dirunut dari sejarah genetis kami berdua dan garis keturunan masing-masing tidak ada masalah soal "produksi" anak. Saya adalah anak pertama dari empat bersaudara sementara istri saya adalah anak keempat dari enam bersaudara. Berdasarkan fakta tersebut, saya dan istri berfikir sesungguhnya peluang kami memperoleh keturunan sangatlah besar. Tapi akhirnya semuanya terpulang kembali pada kehendak Allah SWT, sang khalik yang Maha Kuasa atas nasib kami.


Sebenarnya sejak tahun pertama pernikahan, kami senantiasa melaksanakan ikhtiar sebaik mungkin agar bisa memperoleh keturunan. Tidak hanya secara medis. Tapi juga secara tradisional. Termasuk pula menuruti sejumlah saran dari keluarga dan handai tolan yang ikut prihatin atas "kemalangan" yang menimpa kami. Seorang kawan pernah menyarankan untuk meminum kelapa hijau muda yang sebelumnya sudah dibuka lalu di-"embun"-kan semalaman dihalaman depan rumah. Kegiatan itu lalu kami lakukan secara intens, setiap hari, selama seminggu berturut-turut hingga saya sempat merasa kembung gara-gara kebanyakan minum air kelapa. Dilain pihak istri saya sempat meminum berbagai macam ramuan herbal yang konon dapat menyuburkan rahim dan memperbesar peluang kehamilan.

Yang paling berkesan buat saya adalah, sayur toge!. Saya tak tahu apa yang menyebabkan istri saya begitu tersihir oleh omongan sejumlah orang bahwa toge memiliki khasiat ampuh untuk mempersubur dan mengaktifkan gerak sperma pria. Hampir tiap hari saya mesti makan toge dengan berbagai macam modifikasi menu masakan mulai dari tahu goreng isi Toge, gado-gado toge, pecel toge, tumis toge, Bakso toge, Jus Toge, Roti Bakar isi toge, Toge Mayonaise, Toge oseng-oseng, Gudeg Toge,Toge goreng mentega, dan lain-lain. Terus terang saya mengakui kehebatan istri saya meramu masakan dengan tetap menyertakan si toge sebagai andalan utamanya. Pada awalnya memang saya sempat protes, saat pulang kantor istri saya menyajikan sayur tumis toge diatas meja makan, menu serupa yang dimasak terus menerus sepanjang hari selama seminggu berturut-turut. Saat melihat sayur tumis toge itu diatas meja saya langsung berkomentar,"Yaaa….toge lagi…..toge lagi!".


Istri saya mesam-mesem dan saya akhirnya menyantap menu rutin itu dengan memantapkan tekad membara dalam hati sebagai wujud misi suci saya : menjalankan tugas sebagai pejantan tangguh!. Rupanya istri saya paham "bahasa tersirat" yang saya nyatakan. Dan keesokan harinya, saya menemukan menu-menu masakan bervariasi dengan tentu saja tetap menyertakan toge sebagai bahan utama. Saya sempat membayangkan betapa ribuan sperma-sperma yang saya miliki memiliki energi extra berkat stimulasi luar biasa dari si Toge-Joss. Bisa jadi diantara mereka saling bercakap begini :


"Busyeet nih..ekor gue udah pake tenaga jet "made in toge" buat nembus sel telor. Dijamin gue bisa meluncur 500 km/jam," kata si sperma bernama Tukul pada kawannya sembari mengacungkan ekornya (emangnya sperma punya jempol?).


"Sama Kul, gue udah coba kemarin. Mantap banget!. Wuss..wuss..wuss..gue larinya cepat banget. Emang abang kita ini sangat tahu kebutuhan kite. Semoga aja dia terus-terusan makan toge," sahut kawannya yang bernama Pepi.


Tapi..strategi menyantap toge joss secara rutin tetap tidak berhasil.


Istri saya belum hamil juga.


Kami tetap tidak putus asa.


Strategi lain adalah mencoba berbagai posisi-posisi berhubungan intim yang memiliki kemungkinan besar untuk memperoleh anak. Hasilnya?. Bukan main!. Badan saya dan istri jadi pegal-pegal akibat berakrobat ria dengan berbagai posisi-posisi aneh. Tukang urut langganan sayapun jadi "panen" order. Mendadak pula si tukang urut saya yang memiliki 5 orang anak dari dua istri itupun menjadi teman curhat saya dalam soal menggali kiat-kiat jitu memperoleh anak. Maka mengalirlah sejumlah advis-advis professional dari mulutnya, dimana jika dijadikan disertasi S-3 di UTPI (Universitas Tukang Pijat Indonesia) dapat diberi judul : Telaah Kritis atas Posisi Seksual yang efektif dalam menghasilkan anak dihubungkan dengan Titik-Titik pengurutan potensil pada tubuh sebagai sebuah upaya progresif antisipatif untuk membentuk masyarakat Madani Indonesia dimasa depan dan usaha intensif mencapai Millenium Development Goal -- Sebuah studi kasus komprehensif dan kajian reflektif atas pasangan Amril-Sri di usia dua tahun pernikahannya (weleh..weleh..ribet banget ya?).


Kami juga telah melakukan pemeriksaan medis yang dilaksanakan di rumah sakit.Mitra Keluarga Bekasi. Semula hanya istri saya saja yang diperiksa. Hasilnya : tidak ada masalah fisik secara signifikan pada istri saya untuk menghasilkan anak. Semuanya normal. Istri saya hanya diberi obat "penyubur"kandungan.


Atas saran dokter yang memeriksa istri, sayapun ikut menjalani pemeriksaan. Semula saya menolak, karena selain saya menganggap—tentu secara sepihak-- sejauh ini "baik-baik saja" juga saya sungkan menjalani pemeriksaan yang pasti melibatkan alat vital yang saya miliki. Namun istri saya terus mendesak, saya akhirnya menyerah. Ini demi kami juga. Demi anak yang sudah lama kami dambakan. Hasilnya juga melegakan. Saya normal. Artinya, secara fisik, saya memiliki peluang besar untuk memiliki anak.


Kami berdua sempat putus harapan. Sampai kemudian, kakak ipar saya di Tanjung Priok menyarankan kami berdua untuk urut pada seorang nenek yang konon sudah terbukti kemampuan jari-jari ampuhnya membuka peluang bagi pasangan suami istri untuk mendapatkan anak. Saya sempat merasa itu bukan merupakan hal yang perlu lagi. Bukan apa-apa. Setelah sekian banyak ikhtiar yang sudah kami lakukan dan belum mendapatkan hasil, maka saya kira sudah saatnya kami tiba pada taraf pasrah dan tinggal menunggu takdir yang sudah ditentukan Allah SWT kepada kami. Apapun yang menjadi kehendakNya kelak, kami akan menerimanya dengan hati lapang.


Tapi istri saya begitu bersemangat. Ia lalu mengajak saya bersama-sama ke rumah kakak perempuannya di Tanjung Priok untuk kemudian menemui si nenek sakti mandraguna tadi. Dengan diantar oleh Mbak Surat, kakak perempuan istri saya, kami lalu menuju rumah si nenek.


Tiba disana kami disambut dengan hangat. Nenek berdarah betawi asli yang berusia kurang lebih 70-an tahun itu masih terlihat gesit diusianya yang kian renta. Pada awalnya istri saya yang dipijat terlebih dulu dan saya menunggu diluar bersama suami Mbak Surat. Sekitar setengah jam kemudian, saya dipanggil kedalam oleh istri saya.


"Sekarang giliran elu!" kata si nenek dengan sorot mata tajam "memaku" tubuh saya yang terkesima.


"Kok saya, Nek?. Nggak usahlah, istri saya kan' udah tuh!" saya mencoba protes. Terbayang dalam benak saya jari-jari keriput si nenek menjelajahi perut dan wilayah "rawan" saya dengan lincah. Sungguh menggelikan.


Juga mengerikan.


Si Nenek menggeleng tegas.


"Elu juga kudu dipijet!. Jangan mau enak-enakan aja, lu!. Udah, elu buka tuh baju dan baring telentang disini!" perintah si nenek galak seraya menunjuk dipan didepannya.


Saya memandang istri dan kakaknya dengan wajah memelas mohon pengertian dan rasa solidaritas mereka. Tapi mereka berdua diam dan balas menatap saya dengan penuh keyakinan.


"Udahlah, dik. Ikuti aja apa maunya. Paling Cuma dicek aja. Nggak lama kok," ujar Kakak Ipar saya menenangkan.


"Betul, apalagi kata Nenek, rahimku nggak masalah kok. Pokoknya normal. Sekarang kamu juga mesti diperiksa, siapa tahu justru masalahnya ada sama kamu,," imbuh istri saya.


"Tapi kan'….", saya masih mencoba protes dengan argumentasi pamungkas.


"Tapi apa?" tanya istri saya memotong.


Saya mendekat dan membisikkan sesuatu ditelinga istri saya dengan lirih.


"Bukan muhrimnya!"


Istri saya tertawa berderai dan balas membisiki saya.


"Ingat sayang, ini demi bakal anak kita. Just do it, my man!"


Saya menyerah.


Kata-kata "demi bakal anak kita" begitu ampuh menggugah nurani saya paling dalam, menepis kengerian digerayangi jari-jari keriput yang terbayang akan saya alami tidak lama lagi.


"Eh..elu kok diem aja, udah..buka baju dan baring telentang sono!"teriak si Nenek garang


Saya menghela nafas panjang. Mengumpulkan keberanian yang masih tersisa. Kakak Ipar saya sudah menyusul suaminya diluar. Di bilik ini hanya saya, istri saya dan si nenek eksekutor itu.


Saya sudah telanjang dada. Kemeja dan kaos singlet saya sudah saya copot dan dipegang oleh istri saya.


"Celana juga. Sisain kolor elu doang!. Pake sarung tuh kalo malu ama gue yang udah bangkotan kayak gene!,"tegas si nenek lagi seraya menunjuk sarung butut miliknya untuk dipakai.


"Ko…ko..kolor doang ? Ini yang mau dipijit apanya sih, Nek " saya tergagap. Istri saya terlihat menahan tawa.


"Pake tanya-tanya lagi. Pokoknya elu tinggal diam dan telentang. Jangan banyak bacot. Cepetan !. Pake tuh sarung!" seru si Nenek kencang. Saya langsung merinding.


Akhirnya saudara-saudara, sayapun pasrah tidur telentang dan mencoba sensasi dipijat dengan jari-jari keriput (tapi ampuh) milik si Nenek dengan mata terkatup.


Mulanya sekitar dada dan perut saya yang dipijat. Saya mengerang menahan rasa geli yang melanda. Istri saya duduk disamping kepala saya sembari terus-terusan memandang penuh cinta yang tulus seakan-akan berkata : "Come on my man, ini demi bakal anak kita!". Dan demi itu pula saya mencoba kuat dan tetap bertahan. Seraya menggigit bibir bawah, saya memejamkan mata dan membayangkan tampaknya cara pijat ala nenek ini bisa menjadi salah satu alternatif paling manusiawi dalam menjalankan eksekusi hukuman mati bagi seorang terpidana.


Sampai kemudian, saat jari-jari ampuh si nenek mendekati "daerah rawan", saya sudah tak tahan. Rasa geli sudah mencapai ke ubun-ubun. Dan…


JDUGGG…!!!


Tendangan saya keras menghantam lutut si nenek dan membuatnya terjengkang terguling-guling kebelakang.


"BUJUBUNE!!", seru si Nenek itu kencang.


Istri saya kaget dan tergopoh-gopoh menolong si nenek yang berusaha bangkit.


Uluran tangan istri saya ditepisnya dengan kasar. Nenek tersebut lalu datang kearah saya yang saat itu sudah duduk berjongkok dan meringkuk dengan sarung menutupi badan. Saya benar-benar shock. Sangat shock!.


Matanya menyala. Sumpah serapahpun menyembur deras dari bibir nenek itu.


"Kurang ajar lu, ye!. Gue udah capek-capek nolongin elu pade, malah dikasih tendangan. Emangnye gue bola?. Anak gue sendiri juga pasien gue yang laen kagak ada yang berani dan tega nendang gue. Elu kagak liat ape, gue udah bangkotan kayak gini?. Kalo gue koit gara-gara elu sepak, elu mau tanggung jawab?"


"Maaf, Nek..tadi saya kegelian waktu diurut, jadi spontan aja saya…", dengan suara lirih dan wajah pucat saya memohon ampun dari si nenek, namun langsung dipotong dengan suara menggelegar dari si nenek.


"UDAH! UDAH!..Bubar aja!. Gue udah kagak demen lagi ngurut elu yang doyan nyepak nenek-nenek kayak gue. Kalo gue lanjutin, bisa mampus gue. Pulang aja dan jangan pernah coba-coba kesini lagi!"


Saya dan istri mengangguk pelan. Rasa bersalah menggelayuti batin kami saat itu.


Setelah mengucapkan maaf berkali-kali dan tambahan tips urut, kami pun pamit dan pergi dari rumah sang nenek. Sepanjang jalan saya meringis, pinggul saya habis dicubiti dengan gemas oleh istri saya.


Setelah kejadian itu, kami tetap tidak kapok, ikhtiar memperoleh anak terus kami lakukan meski kemudian saya mengajukan syarat tambahan ke istri, bahwa—berdasarkan pengalaman sebelumnya—saya tidak akan pernah mau diurut. Istri saya cukup mengerti syarat tersebut selain untuk menghindari jatuhnya korban nenek-nenek yang kena tendangan juga jangan sampai saya, suami tercintanya yang ganteng ini, masuk bui gara-gara diadukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Nenek (emang ada ya?) karena tidak berperi-kenenek-an .


Atas rekomendasi saudara sepupu istri saya, kami mencoba urut di rumah Mak Wari (sudah almarhumah, wafat tahun 2005) di daerah Gang Camat Lenteng Agung Jakarta Selatan. Ketika itu nenek yang telah berusia mendekati 100 tahun tersebut memang sudah punya "nama" sebagai dukun pijat yang memilki kemampuan membantu pasangan yang sulit memperoleh anak. Atas analisa "tradisional"-nya yang mumpuni, Mak Wari menyatakan rahim istri saya turun dan akan dilakukan "rehabilitasi" setelah 4-5 kali kunjungan kesana.


Pada kunjungan kelima, Mak Wari yang berdarah asli Betawi itu berkata kepada saya dan istri,"Insya Allah bakal jadi deh anak kalian. Berdoa aje yang banyak. Kalau kagak salah, anak pertama elu itu Laki-laki dan yang kedua nanti perempuan".


Saya merasakan istri saya menggenggam jemari saya begitu erat. Bibirnya tersenyum penuh arti. Saya masih ingat betul saat itu bulan Februari 2002, memasuki tahun ketiga usia pernikahan kami.


Pada sekitar awal Maret 2002, sepulang kantor saya terheran-heran menyaksikan istri saya tersenyum-senyum sendiri.Tampaknya ia memegang sesuatu dibalik punggungnya. Saya tidak mampu menerkanya itu apa. Saya lalu duduk di kursi tamu rumah kontrakan kami di Kompleks POMAD Kalibata (sejak pindah bekerja di PT.Inti Jatam Pura Agustus 2001, kami sekeluarga "hijrah" dari Taman Aster Cibitung ke rumah kontrakan baru).


"Kenapa sih kamu ketawa-ketawa, senyam-senyum sendiri?", tanya saya sembari membuka sepatu.


Istri saya tak menjawab. Ia mengangsurkan sesuatu benda ke hadapan saya. Sebuah alat uji test kehamilan.


Saya mendelik heran, ini apa maksudnya?.


"Lihat aja deh. Tapi baca dulu petunjuknya di sampul depannya baru lihat indikatornya," kata istri saya tenang dengan senyum manis yang masih melekat dibibirnya.


Tak berapa lama kemudian, mata saya melotot dan hati saya membuncah. Bergemuruh.


POSITIF!. Istri saya positif hamil!.


Saya langsung berjingkrak-jingkrak dan menari kegirangan.


Tak peduli sedikitpun pada tetangga sekeliling dengan heboh saya mengajak istri saya berdansa di ruang tamu sempit kontrakan kami. Saya merasa bahagia. Bahagia luar biasa. Akhirnya apa yang kami impikan selama ini terwujud sudah.


Malam harinya seusai menyantap sate kambing Haji Thohir Pasar Minggu, sebagai bentuk "perayaan kecil" atas kehamilan istri saya, kami berdua mengucap syukur tak terhingga kepada Allah SWT yang akhirnya memberikan kami kepercayaan untuk dapat memperoleh anak. Usai sholat Tahajjud, kami berdua menangis dalam keheningan malam. Saya membelai kepala istri saya yang masih mengenakan mukena. Baju koko saya basah oleh airmatanya yang terus berderai. Sama seperti waktu-waktu sebelumnya, namun kali ini, tangis saya dan istri saya adalah tangis kebahagiaan.



Akhirnya, tanggal 25 November 2002, anak pertama kami, Muhammad Rizky Aulia Gobel lahir kedunia dengan operasi Caesar, menyusul kemudian adiknya, Alya Dwi Astari Gobel lahir Tanggal 11 November 2004 juga keluar lewat "jendela". Keduanya menatap dunia untuk pertama kali dalam Bulan suci Ramadhan.


Saya tersenyum.


Dan dipucuk malam, usai sujud panjang saya selepas sholat Tahajjud, pelupuk mata saya basah oleh air mata.Betapa kami sangat bersyukur atas karunia dan berkah tak putus-putus yang dianugerahkan Allah SWT kepada kami berupa amanah yang sungguh tak ternilai harganya : Rizky dan Alya. Dalam hati saya bertekad untuk menjaga amanah berharga ini dengan sebaik-baiknya. Perjuangan saya sebagai calon ayah—setelah menunggu 3 tahun—mungkin sudah usai, namun perjuangan saya sebagai ayah akan terus berlanjut.


Catatan :


Posting ini dibuat dari kamar 207 di Rumah Sakit Harapan International Cikarang, saat menjagai anak saya, Rizky yang tengah dirawat inap karena sakit Typhus

Label: