Google
 
<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5589029613667165524\x26blogName\x3dCatatan-Catatan+Hati\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://amriltg.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://amriltg.blogspot.com/\x26vt\x3d-3370372093065228379', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Senin, September 10, 2007

MENGIRIS MALAM BERSAMA OJEK BANDARA

Malam baru saja mendekati pucuknya saat pesawat saya mendarat mulus di Bandara Hasanuddin Jum’at, 24 Juni 2006. Udara malam Makassar yang sejuk segera menyergap hidung saya ketika menuruni tangga pesawat yang berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng Pukul 20.30 WIB. Kekesalan saya lantaran pesawat yang saya tumpangi itu terlambat berangkat satu jam dari jadwal yang sudah ditetapkan, mendadak menguap. Kerinduan menginjakkan kaki kembali ditanah kelahiran dan tempat melewatkan sebagian besar masa muda saya terlampiaskan begitu menyaksikan lampu-lampu di terminal penumpang seluas 10.185 m2 berkelap-kelip semarak dan masih memperlihatkan kesibukan meski sudah menjelang tengah malam.

Kedatangan saya ke Makassar kali ini adalah dalam rangka menghadiri akad nikah dan resepsi pernikahan adik bungsu saya, Diah Ramayanti Gobel dan Herlambang Susatya yang akan dilaksanakan keesokan harinya. Karena jatah cuti saya dikantor terbatas dan juga Alya, anak bungsu saya sedang sakit, maka saya tidak mengikut sertakan anak dan istri pada kunjungan saya ke Makassar kali ini. Di lobby bandara Hasanuddin yang berjarak kurang lebih 20 km dari rumah orang tua saya di Bumi Antang Permai, saya mengabarkan kedatangan. Di ujung telepon, ayah saya sempat mengungkapkan kekhawatiran jika terjadi hal yang tak diinginkan selama perjalanan saya dari bandara ke rumah di tengah malam. Saya menepis kekhawatiran beliau dengan menyatakan bahwa, meski sudah 11 tahun meninggalkan Makassar, saya tidak akan kesasar pulang dan mudah-mudahan bisa menghindari “hal-hal yang tidak diinginkan”.

Keluar dari terminal penumpang, saya segera disambut oleh sejumlah pengemudi taksi yang menawarkan jasa angkutan dengan ramah. Saya menggeleng pelan dan dalam hati membulatkan tekad untuk berjalan kaki dari kawasan Bandara Hasanuddin menuju jalan poros Makassar-Maros yang berjarak kurang lebih 500 meter. Saya tidak akan melewatkan kesempatan mudik kali ini dengan menikmati sebanyak-banyaknya beragam nuansa di kota yang menggoreskan berjuta kenangan di hati saya itu.

Sebenarnya pada Lebaran tahun 2005 saya dan keluarga sempat mudik ke Makassar. Tapi saya tidak memiliki banyak kesempatan untuk menekuri lebih banyak jejak-jejak kenangan masa muda di Makassar karena kesibukan bersilaturrahmi bersama keluarga. Dan meski waktunya lumayan singkat, saya akan menggunakan momen mudik kali ini sebaik-baiknya.

Saya sedang merapatkan jaket dan memperbaiki letak ransel dipunggung ketika sebuah sepeda motor Yamaha RX-King datang mendekati saya.

“Mau naik ojek, Pak ? Nanti saya antar ki’, kasih tau mi saja tujuan ta’ mau kemana,” sapa sang pengemudi itu disela-sela deru kencang mesin motornya.

Saya memandang curiga sosok tukang ojek yang berusia sekitar 30-an tahun itu yang segera disambut oleh tawa renyah olehnya.

“Jangan ma ki’ takut, pak. Saya bukan ji penjahat,” ujar sang tukang ojek meredakan ketegangan yang saya alami. Senyum tulus tersungging dibibirnya.

Dalam hati saya berfikir, apa salahnya jika saya mencoba untuk menumpang ojek dari Bandara ke rumah saya di Antang, sekalian merasakan semilir sejuk angin malam Makassar.

“Ooo..Tidak takut ji. pak Berapa pale’ ongkosnya dari sini ke Antang ?” tanya saya dengan logat khas ala Makassar.

“Tigapuluh Ribu Rupiah, pak. Murah ji”, sahut si Tukang Ojek.

Tanpa menawar lagi saya langsung naik ke sadel motornya sembari berucap pelan, “Oke pak, berangkat!”.

Sang Tukang Ojek memasang helm ala pembalap dan menyodorkan kepada saya helm plastik kumal berwarna biru dan bermodel mirip topi baja tentara era 40-an. Saya betul-betul terlihat begitu culun memakai helm itu.

Tak lama kemudian, motor yang kami tumpangipun meluncur dan melaju kencang menyusuri jalan Poros Maros-Makassar. Saya merasakan sensasi yang begitu berbeda terutama ketika angin malam menerpa wajah saya. Sejuk dan melenakan. Dan saya sangat menikmatinya seraya menatap takjub pada setiap perubahan yang telah terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Jalan poros Makassar-Maros menjadi wilayah “jelajah” rutin saya pulang pergi menumpang pete-pete ke kampus UNHAS di Tamalanrea dan kerumah yang ketika itu masih berada di Kompleks Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih VI Kabupaten Maros. Jaraknya kurang lebih 30 kilometer.

Terbayang kembali masa-masa saat masih mahasiswa di UNHAS dulu, begadang dikampus hingga dini hari, berdiskusi bersama rekan-rekan aktivis mahasiswa, mengerjakan tabloid kampus atau mempersiapkan kegiatan kemahasiswaan. Saya begitu mengakrabi angin malam yang dingin menembus hingga ke tulang dan coba ditepis dengan segelas sarabba’ (minuman khas Makassar yang mirip dengan wedang jahe) panas bersama songkolo’ bagadang.

Melewati Jalan Perintis Kemerdekaan, saya meminta sang tukang ojek masuk sebentar mengitari kawasan kampus Universitas Hasanuddin di Tamalanrea. Dari gestur tubuhnya, saya tahu, tukang ojek itu pasti minta tambahan ongkos.

“Jangan khawatir sambalu’, nanti kutambai’ ki ongkosna’,” kata saya sembari menepuk pundaknya.

Kami berhenti sejenak di depan bangunan Fakultas Teknik yang berdiri gagah dalam keremangan malam. Saya turun dari motor dan memandang bangunan kampus yang begitu kontras disinari sinar redup bulan setengah purnama. Ingatan saya mengembara 15 tahun silam saat menjadi mahasiswa disana dengan idealisme menggebu. Dada saya terasa sesak oleh keharuan yang tiba-tiba melanda.

“Ini sekolah ta’ dulu di’ ?”, tanya si tukang ojek menebak.

Saya mengangguk. “Lama sekali mi, pak. Tahun 1989 saya masuk dan lulus disini tahun 1994 lalu merantau ke Jakarta”.

“Wah, saya tahun 1989 masih SMP, pak. Tapi tidak lanjut ka’ lagi ke SMA. Tidak ada biaya sekolah dari orangtuaku kodong. Terus saya jadi kondektur dan supir pete-pete jurusan Maros-Daya”, sahut si Tukang Ojek yang menceritakan kisah kehidupannya.

“Lantas kenapa sekarang malah jadi tukang ojek?”

Sang tukang ojek menghela nafas panjang. Matanya menerawang jauh.

“Itu mi pak. Begini mi mungkin nasibku. Ternyata jadi supir pete-pete tidak mencukupi nafkah untuk anak istri. Apalagi banyak sekali mi saingannya sekarang. Tidak seperti dulu lagi. Waktu mertua saya dapat uang ganti rugi tanah untuk perluasan bandara, istri saya diberi modal untuk buka warung kecil dirumah dan saya membeli sepeda motor lalu jadi tukang ojek bandara”, jawabnya dengan suara lirih.

Saya mengangguk mafhum. Dari sorot matanya yang tajam, saya paham, lelaki ini memiliki tekad yang kuat dan keras mengarungi kehidupan.

Kami lalu melanjutkan perjalanan. Mengitari kampus UNHAS dan akhirnya keluar di Pintu Dua. Saat motor yang kami tumpangi melaju didaerah Tello, saya melihat beberapa warung kecil yang menjual hidangan Sarabba’ dan Songkolo’. Seketika selera makan saya bangkit.

“Kita singgah sebentar minum Sarabba’ dan makan Songkolo’ yuk,” ajak saya.

Motor lalu menepi di salah satu warung yang ketika itu sedang menayangkan salah satu partai pertandingan Sepakbola Piala Dunia 2006. Pengunjung warung itu tidak terlalu banyak dan sebagian besar menyimak aksi pertandingan sepakbola di Televisi.

Saya memesan satu gelas Sarabba’ dan seporsi Songkolo’ sementara sang Tukang Ojek yang mengaku bernama Yunus itu, memesan satu gelas sarabba’.

“Saya sudah kenyang mi’, pak. Sarabba mo’ saja,” demikian katanya.

Kami berbincang lebih leluasa disini. Yunus lalu bercerita tentang suka dukanya menjadi Tukang Ojek bandara yang sudah ia lakoni sekitar empat tahun silam.

“Saya pernah antar orang dari Bandara Hasanuddin ke Barru (sebuah kabupaten yang berjarak lebih kurang 100 km dari Makassar), pak. Itu jarak terjauh yang pernah saya tempuh selama ini,” kisah Yunus, lelaki beranak dua ini, seraya menghirup Sarabba’-nya.

“Berapa dia bayar untuk jarak sejauh itu?” tanya saya antusias.

“Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah, pak. Tapi waktu sampai dirumah kembali, langsung kusuruh pijit ki badanku sama istriku. Capek sekali ka’ bela’, sampai-sampai besoknya saya tidak narik,” sahut Yunus sambil tertawa.

Dari aktivitasnya sebagai tukang ojek bandara, ia bisa membawa pulang Rp 100,000-Rp 200,000,- tiap hari dan sekitar 30% diantaranya dialokasikan untuk membeli bahan bakar, makan dan rokok. Sisanya ia serahkan kepada istrinya. Kebanyakan rute yang ia tempuh adalah kearah kota Makassar dengan tarif bervariasi berkisar Rp 30,000-Rp 50,000 (tergantung wilayah tujuan) untuk satu kali pengantaran.

Yunus memulai aktifitasnya tiap hari pukul 10.00 hingga pukul 02.00 dini hari. Ia mengaku sangat menikmati pekerjaannya.

“Ini pekerjaan paling enak, pak. Kalau tidak ada penumpang, saya tinggal pulang tidur ke rumah dan berangkat kerja lagi sore atau malamnya. Tidak ada boss yang marah-marahi ka’. Pokoknya kalau mau “narik” tinggal berangkat mi saja,” lanjut Yunus lagi. Begitu santai.

Masa-masa “panen” biasanya terjadi kalau momen lebaran atau natal tiba. Namun, dengan semakin banyaknya taksi bandara yang beroperasi, tak urung mengancam pendapatannya sebagai ojek bandara. Tapi Yunus mengaku pasrah dan siap menghadapi resiko mesti bersaing dengan taksi yang notabene memberikan fasilitas kenyamanan lebih baik. Pun Yunus tak khawatir jika mesti bersaing dengan tukang-tukang ojek bandara lainnya yang juga terus tumbuh.

“Rezeki itu Allah yang mengatur. Buktinya bisa tonji saya menghidupi istri dan anakku dengan ojek sampai sekarang. Yang penting kan’ kita sudah berusaha. Pasti masih ada ji orang-orang seperti bapak yang mau naik ojek,” kata Yunus pelan seraya menghabiskan sisa Sarabba’ di gelasnya.

Ucapan sederhana Yunus itu seketika menggetarkan hati saya. Begitu dalam filosofi hidup yang ia tanamkan dan menjadi pedomannya mengarungi hidup.

Yunus mengantar saya hingga kedepan rumah saya di Antang. Saya menyelipkan selembar uang seratus ribuan ke saku jaket kulitnya yang lusuh dan dibalasnya dengan senyum tulus. Ayah saya memandang keheranan melihat putra tertuanya pulang ke rumah menumpang ojek. Beliau datang mendekati saya dan kami berdua memandang motor Yunus menderu kencang dan menghilang di tikungan jalan. Kembali ke bandara.