SUNGGUH TAK MUDAH MENJADI AYAH...
MENJADI ayah sungguh sangat tidak mudah. Terutama ketika mengatasi pertanyaan-pertanyaan tak terduga dari Putra sulung saya, Rizky. Bocah yang akan memasuki usia kelima tanggal 25 November nanti ini nampaknya memang mewarisi sifat lugu inncocent ayahnya dan kebawelan ibunya. Sungguh sebuah paduan yang sangat sempurna, ironis sekaligus fantastis.
Dan, Thanks God, adiknya Alya pun secara gradual mengikuti polah sang kakak. Malah lebih parah. Gadis mungil 3 tahun itu ternyata lebih bawel dari sang ibu bahkan setingkat melebihi ibu-ibu selebriti yang berdebat ngalor ngidul di acara “Silat Lidah” Anteve. Tidak hanya itu, Alyapun sudah mulai “sadar-kamera”. Setiap kali dipotret maka diapun lantas bergaya layaknya seorang fotomodel beken. “Aku mau jadi Altis”, begitu kata gadis kecil ini dengan lafalnya yang cadel saat ditanya apa cita-citanya.
Maka lengkaplah sudah “penderitaan” saya dan ibunya mengatasi sejumlah pertanyaan-pertanyaan sekaligus pernyataan-pernyataan mereka yang kerap membuat kami garuk-garuk kepala karena takjub sekaligus bingung.
Ketika itu kami jalan-jalan disebuah Mall megah di Jakarta dan naik lift yang berdinding kaca tebal transparan. Rizky saya gendong sementara Alya meringkuk ketakutan dipeluk ibunya.
Rizky spontan bertanya, “Pa, ini lift bisa naik keatas pake apa ya?”.
“Ini ditarik pake kawat besi gede, nak,” saya menjawab ala kadarnya.
Dua orang gadis muda berseragam (nampaknya adalah pramuniaga salah satu counter di mall tersebut) terlihat seperti memperhatikan percakapan kami. Istri saya melotot sewot dan mencubit pinggang saya. Seorang penumpang lift lainnya, pria muda ber T-Shirt merah asyik memencet-mencet tombol handphonenya. Sibuk ber-SMS.
“Pake orang ya Pa nariknya keatas?” tanya Rizky lagi.
Saya menghela nafas.
“Pake Mesin dong. Kalo orang yang narik ya gak kuat,” sahut saya pelan.
“Mesinnya dimana, Pa?”
“Ya…ada yang diatas dan ada yang dibawah”
“Mesinnya banyak dong, Pa. Liftnya kan’ gak cuma yang ini aja”
Saya mulai kesal. 2 gadis pramuniaga itu terkikik geli sambil melirik wajah saya yang terlihat linglung. Sebuah cubitan kembali mendarat dipinggang.
“Ya..gak mesti begitu, nak. Satu mesin itu bisa buat dua atau tiga lift sekaligus jadi gak mesti satu mesin satu lift” kata saya berargumen dan sekuat mungkin menggali kemampuan ilmu saya sebagai sarjana teknik mesin jebolan Unhas yang sudah semakin tumpul lantaran bekerja dibidang yang berbeda dengan saat kuliah dulu.
Rizky mengerutkan kening.
Saya waspada. Istri juga waspada bila saya mulai main mata.
“Terus..kalo ada lift yang putus tali kawatnya gimana dong, Pa. Rusak juga dong mesinnya. Lift yang lain juga gak bisa jalan,” tukas Rizky spontan.
Saya melongo. Istri saya dengan sigap mengambil alih situasi.
“Udah nak, entar Papa jelasin nanti. Kita udah mau turun,” kata istri saya cepat. Kamipun bergegas keluar dari lift. Samar-samar saya mendengar suara tawa cekikikan 2 Pramuniaga dari dalam lift.
Dilain kesempatan.
Alya dan Rizky saya ajak berbelanja cemilan kegemaran mereka di salah satu gerai Alfamart di Perumahan Cikarang Baru dengan menumpang motor Suzuki Shogun kami.
Didepan kasir saat ingin membayar belanjaan, mendadak perut saya sakit. Ingin buang angin. Saya panik dan melirik kekanan dan kekiri. Alya dan Rizky terlihat bingung melihat kelakuan ayahnya yang gelisah seperti cacing kepanasan. Sang kasir sibuk menghitung belanjaan kami.
Pelan-pelan, saya merapatkan tubuh ke tembok dan sembari menahan nafas—berharap kentut yang keluar tidak menimbulkan bunyi yang membahana—lalu…PUSSHH…hajat itu pun terlaksana dengan sukses. Tanpa bunyi yang menarik perhatian. Saya menghela nafas panjang. Lega.
Tiba-tiba hal yang tak terduga terjadi.
“Iiihh…Papa kentut! Bau banget !,” seru Rizky sembari menutup hidung.
“Iya nih, Papa kentut!,” sahut Alya ganjen seraya mengibas-ngibaskan tangannya keudara. Sang kasir terlihat tersenyum sendiri.
“Nggak kooq…Papa nggak kentut,” saya mencoba berkilah dengan menahan malu. Saya membayangkan pipi saya pasti sudah merona merah ibarat kepiting rebus.
“Papa Bo’ong…bau kentutnya sama dengan punya Papa!,” balas Rizky ketus. Alya ikut mengangguk-angguk kompak.
Saya terdiam. Terpukul. Shock. Rasanya pingin pingsan saja.
“Udahlah pak. Ngaku aja, Bapak yang kentut. Nggak baik lho bo’ong sama anak-anak,” ujar si Kasir sok tau seraya menahan tawa.
ASEM!.
Sembari bersungut-sungut kesal, saya membayar belanjaan kami dan menggiring kedua anak reseh itu keluar dari Alfamaret.
Diwaktu yang lain.
Untuk secara dini mengajarkan organ reproduksi pria pada Rizky, saya mengajaknya mandi bareng. Bugil berdua dan menikmati percikan air shower di kamar mandi. Kami sangat menikmati ritual itu. Sampai kemudian…
“Papa, ini apa sih namanya yang dipakai buat pipis ?" tanya Rizky polos sambil menunjuk "anu"nya.
"Ooo..itu namanya Penis nak, kayak punya Papa nih," kata saya sambil menunjuk "perabotan antik" itu.
"Iya..ya..koq sama. Tapi punya papa agak gedean dikit"
"Lha..iyaa dooong. Kalo Rizky besar nanti juga kayak punya papa koq", sahut saya dengan rasa ge-er .
Rizky manggut-manggut.
"Tapi koq punya Rizky nggak pake helm kayak punya Papa ya ?"
HAAHH???
Saya terkejut, hampir pingsan!.
Ah, sungguh tak mudah menjadi ayah..
Dan, Thanks God, adiknya Alya pun secara gradual mengikuti polah sang kakak. Malah lebih parah. Gadis mungil 3 tahun itu ternyata lebih bawel dari sang ibu bahkan setingkat melebihi ibu-ibu selebriti yang berdebat ngalor ngidul di acara “Silat Lidah” Anteve. Tidak hanya itu, Alyapun sudah mulai “sadar-kamera”. Setiap kali dipotret maka diapun lantas bergaya layaknya seorang fotomodel beken. “Aku mau jadi Altis”, begitu kata gadis kecil ini dengan lafalnya yang cadel saat ditanya apa cita-citanya.
Maka lengkaplah sudah “penderitaan” saya dan ibunya mengatasi sejumlah pertanyaan-pertanyaan sekaligus pernyataan-pernyataan mereka yang kerap membuat kami garuk-garuk kepala karena takjub sekaligus bingung.
Ketika itu kami jalan-jalan disebuah Mall megah di Jakarta dan naik lift yang berdinding kaca tebal transparan. Rizky saya gendong sementara Alya meringkuk ketakutan dipeluk ibunya.
Rizky spontan bertanya, “Pa, ini lift bisa naik keatas pake apa ya?”.
“Ini ditarik pake kawat besi gede, nak,” saya menjawab ala kadarnya.
Dua orang gadis muda berseragam (nampaknya adalah pramuniaga salah satu counter di mall tersebut) terlihat seperti memperhatikan percakapan kami. Istri saya melotot sewot dan mencubit pinggang saya. Seorang penumpang lift lainnya, pria muda ber T-Shirt merah asyik memencet-mencet tombol handphonenya. Sibuk ber-SMS.
“Pake orang ya Pa nariknya keatas?” tanya Rizky lagi.
Saya menghela nafas.
“Pake Mesin dong. Kalo orang yang narik ya gak kuat,” sahut saya pelan.
“Mesinnya dimana, Pa?”
“Ya…ada yang diatas dan ada yang dibawah”
“Mesinnya banyak dong, Pa. Liftnya kan’ gak cuma yang ini aja”
Saya mulai kesal. 2 gadis pramuniaga itu terkikik geli sambil melirik wajah saya yang terlihat linglung. Sebuah cubitan kembali mendarat dipinggang.
“Ya..gak mesti begitu, nak. Satu mesin itu bisa buat dua atau tiga lift sekaligus jadi gak mesti satu mesin satu lift” kata saya berargumen dan sekuat mungkin menggali kemampuan ilmu saya sebagai sarjana teknik mesin jebolan Unhas yang sudah semakin tumpul lantaran bekerja dibidang yang berbeda dengan saat kuliah dulu.
Rizky mengerutkan kening.
Saya waspada. Istri juga waspada bila saya mulai main mata.
“Terus..kalo ada lift yang putus tali kawatnya gimana dong, Pa. Rusak juga dong mesinnya. Lift yang lain juga gak bisa jalan,” tukas Rizky spontan.
Saya melongo. Istri saya dengan sigap mengambil alih situasi.
“Udah nak, entar Papa jelasin nanti. Kita udah mau turun,” kata istri saya cepat. Kamipun bergegas keluar dari lift. Samar-samar saya mendengar suara tawa cekikikan 2 Pramuniaga dari dalam lift.
Dilain kesempatan.
Alya dan Rizky saya ajak berbelanja cemilan kegemaran mereka di salah satu gerai Alfamart di Perumahan Cikarang Baru dengan menumpang motor Suzuki Shogun kami.
Didepan kasir saat ingin membayar belanjaan, mendadak perut saya sakit. Ingin buang angin. Saya panik dan melirik kekanan dan kekiri. Alya dan Rizky terlihat bingung melihat kelakuan ayahnya yang gelisah seperti cacing kepanasan. Sang kasir sibuk menghitung belanjaan kami.
Pelan-pelan, saya merapatkan tubuh ke tembok dan sembari menahan nafas—berharap kentut yang keluar tidak menimbulkan bunyi yang membahana—lalu…PUSSHH…hajat itu pun terlaksana dengan sukses. Tanpa bunyi yang menarik perhatian. Saya menghela nafas panjang. Lega.
Tiba-tiba hal yang tak terduga terjadi.
“Iiihh…Papa kentut! Bau banget !,” seru Rizky sembari menutup hidung.
“Iya nih, Papa kentut!,” sahut Alya ganjen seraya mengibas-ngibaskan tangannya keudara. Sang kasir terlihat tersenyum sendiri.
“Nggak kooq…Papa nggak kentut,” saya mencoba berkilah dengan menahan malu. Saya membayangkan pipi saya pasti sudah merona merah ibarat kepiting rebus.
“Papa Bo’ong…bau kentutnya sama dengan punya Papa!,” balas Rizky ketus. Alya ikut mengangguk-angguk kompak.
Saya terdiam. Terpukul. Shock. Rasanya pingin pingsan saja.
“Udahlah pak. Ngaku aja, Bapak yang kentut. Nggak baik lho bo’ong sama anak-anak,” ujar si Kasir sok tau seraya menahan tawa.
ASEM!.
Sembari bersungut-sungut kesal, saya membayar belanjaan kami dan menggiring kedua anak reseh itu keluar dari Alfamaret.
Diwaktu yang lain.
Untuk secara dini mengajarkan organ reproduksi pria pada Rizky, saya mengajaknya mandi bareng. Bugil berdua dan menikmati percikan air shower di kamar mandi. Kami sangat menikmati ritual itu. Sampai kemudian…
“Papa, ini apa sih namanya yang dipakai buat pipis ?" tanya Rizky polos sambil menunjuk "anu"nya.
"Ooo..itu namanya Penis nak, kayak punya Papa nih," kata saya sambil menunjuk "perabotan antik" itu.
"Iya..ya..koq sama. Tapi punya papa agak gedean dikit"
"Lha..iyaa dooong. Kalo Rizky besar nanti juga kayak punya papa koq", sahut saya dengan rasa ge-er .
Rizky manggut-manggut.
"Tapi koq punya Rizky nggak pake helm kayak punya Papa ya ?"
HAAHH???
Saya terkejut, hampir pingsan!.
Ah, sungguh tak mudah menjadi ayah..