Google
 
<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5589029613667165524\x26blogName\x3dCatatan-Catatan+Hati\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://amriltg.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://amriltg.blogspot.com/\x26vt\x3d-3370372093065228379', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Jumat, September 14, 2007

KAMU LAKI-LAKI, KUATLAH !

SAYA kembali merasakan spirit kalimat itu disela-sela keprihatinan keluarga kami yang dilanda musibah bertubi-tubi di bulan Agustus 2007. Begitu menggetarkan dan menyalakan nyali. Seperti dulu, pada dua momen yang hingga saat ini membekas tegas dihati.

***

Matahari belum menampakkan sinarnya dan kabut masih membayang tipis , pada pagi yang riuh di Pintu Gerbang masuk Kampus Universitas Hasanuddin Tamalanrea, suatu hari di bulan Agustus 1989. Bentakan, makian dan seruan para senior membahana, bergemuruh menikam langit menyambut kedatangan mahasiswa baru untuk menjalani masa OPSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) hari pertama.

Dengan menumpang motor dinas HONDA WIN, saya diantar ayah menuju kampus. Semalaman saya sama sekali tidak bisa tidur dan terbayang-bayang “pembantaian” yang bakal saya alami oleh jajaran senior Fakultas Teknik yang terkenal keras itu. Diatas motor yang melaju pelan menuju kampus, saya tidak dapat menyembunyikan kegundahan hati saya. Jarak tempuh dari rumah kami di Maros menuju ke kampus Tamalanrea sekitar 25 km. Beberapa kali saya sempat memperbaiki letak duduk di sadel motor sekedar menepis kegusaran yang melanda hati.

Ayah saya mengendarai motornya dengan kecepatan konstan. Tenang dan penuh perhitungan. Saya tak tahu apakah keresahan yang sama juga beliau rasakan seperti yang saya alami saat itu. Tangan kiri saya menggenggam erat sebuah balon gas berwarna biru dan dipundak kanan saya sebuah tas karung terigu yang berisi keperluan saya selama OPSPEK. Saya mengenakan kaos merah bertuliskan “Kacung OPSPEK Teknik UNHAS 1989” dan scarf bergambar tengkorak yang juga berwarna merah diikat menyelubungi kepala saya yang gundul plontos.

Saat motor yang kami tumpangi sampai kedepan gerbang kampus, saya tak juga turun dari sadel motor. Ketakutan seketika melingkupi batin saya. Ayah lalu menoleh kebelakang.dan berseru tegas.

“Turun !”

Dengan perasaan enggan, saya turun dari motor. Teriakan dan hardikan para senior terdengar kencang, menciutkan nyali. Ayah lalu memandang saya tajam. Sorot matanya terlihat deras mengalirkan spirit keyakinan.

Beliau lalu mengusap kepala saya dengan lembut, lalu berkata,”Kamu laki-laki, nak. Kuatlah!”.

Batin saya mendadak tersentak. Saya mengangguk pelan lalu mencium tangan ayah kemudian melangkah mantap dengan kepala tegak menuju gerbang kampus. Saya sempat menoleh ke tempat ayah berdiri dimana saya menyaksikan beliau tersenyum sembari mengacungkan jempol. Dan sayapun menghadapi prosesi “penggemblengan” mahasiswa baru itu dengan tabah, berani dan tentu saja, kuat.

Kejadian berikutnya terjadi di awal tahun 1995. Disebuah siang yang terik dimana angin laut berdesir sejuk pada anjungan pengantaran penumpang pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar. Hari itu, saya bersama dua kawan lain akan berangkat ke Jakarta menumpang kapal KM.Kambuna untuk bekerja. Kami bertiga diterima sebagai karyawan PT.KADERA AR-INDONESIA yang berlokasi di Kawasan Industri Pulogadung (sekarang namanya sudah berubah menjadi PT.ABADI BARINDO AUTOTECH) melalui proses perekrutan di Makassar.

Dada saya disesaki keharuan yang dalam saat melihat ibu saya menangis melepas kepergian saya, anak lelaki sulungnya, merantau ke ibukota. Sebelumnya, 3 tahun silam, adik laki-laki saya, Budi, sudah merantau lebih dulu ke Balikpapan seusai menamatkan Sekolah Analis Kimia-nya di Makassar. Jika saya pergi, maka tak ada lagi anak laki-laki dari kedua orang tua saya yang akan menemani mereka berdua melewatkan masa tua di Makassar. Tinggal kedua adik perempuan saya yang akan menemani kedua orang tua saya disana (kami bersaudara empat, 2 lelaki dan 2 perempuan).

Karena jarak perantauan yang lebih jauh dari Budi (yang hanya menempuh satu hari perjalanan via kapal laut dari Balikpapan), ibu saya terlihat begitu khawatir pada kepergian saya. Dalam lubuk hati terdalam, sesungguhnya, saya merasakan kegusaran serupa. Tapi saya tak ingin melihat ibu saya makin bersedih dan saya berusaha menghibur beliau antara lain dengan menyatakan “saya akan baik-baik saja di Jakarta”.

Peluit panjang KM Kambuna bertiup kencang dua kali. Mengguncangkan batin saya.

Saatnya saya dan kedua kawan saya mesti berangkat. Meninggalkan Makassar.

Saya memeluk erat satu-satu orang-orang yang saya cintai itu dengan kepedihan hati yang dalam. Ayah saya terlihat begitu tegar mengantarkan kepergian saya.

Saat beliau mencium kening saya, kalimat menggetarkan yang pernah saya dengar saat beliau mengantar saya ketika mengikuti OPSPEK hari pertama 6 tahun silam terulang kembali.

“Kamu laki-laki,nak. Kuatlah,” ujar ayah seraya menghapus genangan air mata disudut mata saya dengan punggung tangannya yang mulai keriput.

Saya terdiam. Lalu mengangguk pelan. Nyali saya mendadak menggelegak riuh saat mendengar kalimat itu lagi.

Beliau lalu menyodorkan sebuah amplop berisi surat dan dimasukkan ke kantong kemeja saya.

“Baca surat ini ketika kamu tidak dapat melihat kita lagi saat mengantarmu di pelabuhan,” kata ayah saya lirih seperti menahan keharuan yang meluap didada.

Saya mengangguk lagi dan kembali, dengan langkah mantap dan kepala tegak saya berjalan menaiki tangga kapal KM Kambuna yang akan membawa saya ke Jakarta. Di anjungan pengantar, saya melihat sosok ayah, ibu dan kedua adik perempuan saya. Mereka melambaikan tangan kearah saya yang berdiri didek 5, dan perlahan, sosok-sosok itu makin kecil dan mengecil dibentangkan jarak. KM Kambuna menyibak laut dengan perkasa.

Di “bangsal” kelas ekonomi tempat saya dan dua kawan saya, Amri dan Yusuf beristirahat, saya membuka surat dari ayah saya. Kedua kawan saya sudah tertidur pulas diayun-ayun alunan gelombang laut diatas kasur tipis plastic sejak tadi.

Surat itu panjangnya 4 lembar halaman kertas A-4 bolak-balik dan ditulis tangan dengan rapi. Saya terkesima. Di surat itu, ayah saya menceritakan pengalamannya merantau ke Makassar awal tahun 1960-an dengan menumpang kapal kayu serta bekal uang tak seberapa dari kakek saya, Sun Gobel, pensiunan Depatemen Penerangan. Hanya berbekal semangat, ketulusan dan nyali memperjuangkan kehidupan.

Ayah meminta saya untuk menjaga diri dengan baik diperantauan seperti yang sudah beliau dan ibu saya lakukan di Makassar. Menjunjung tinggi tradisi, adat istiadat dan sopan santun ditempat dimana saya kelak tinggal. Usai membaca surat panjang itu, mata saya berkaca-kaca. Kerinduan pada orang-orang yang saya cintai di Makassar datang menohok dada.

Dipenghujung malam itu, saya berjalan kearah anjungan kapal. Angin laut deras menerpa tubuh. Dingin dan membuat gemetar. Saya merapatkan kancing jaket lusuh yang setia menemani saya ketika kerap begadang dikampus dulu. Kerlip bintang bercahaya dilekuk cakrawala. Indah dan menerbitkan kangen pada kampung halaman. Kapal Motor Kambuna yang saya tumpangi membelah laut dengan anggun. Malam kian tua. Dan sayapun larut dalam lamunan.

Saya merenungi makna “kelelakian” dan “kekuatan” yang ayah saya ungkapkan pada perjalanan pertama saya merantau ke kota yang ditempuh dengan perjalanan laut dua hari itu dari Makassar. Makna yang memiliki relevansi erat satu dengan yang lain yang bermuara untuk menegaskan integritas seorang lelaki pada tanggung jawab eksistensinya dalam melakoni hidup.

***

Dikamar 314 Rumah Sakit Harapan International, saya memandang wajah putri kecil saya Alya Dwi Astari, yang tertidur pulas dengan infus dilengan kanan. Ia dirawat di rumah sakit menyusul kakaknya Rizky karena sakit kejang demam. Seakan melengkapi dan “menggenapi” musibah yang datang menimpa kelurga kami.

Tanggal 6-10 Agutus 2007 anak saya, Muh.Rizky Aulia Gobel dirawat dirumah sakit karena sakit Typhus. Baru dua hari masuk ke sekolah, Hari Jum’at tanggal 17 Agustus 2007, Rizky mesti dirawat lagi dirumah sakit karena tersiram air panas (lihat ceritanya disini). Pada malam harinya, saat Rizky baru keluar dari Rumah Sakit, pada hari Jum’at, 24 Agustus 2007, adiknya Alya mengalami kejang demam/step karena demam tinggi.

Karena kondisi darurat, jari tengah dan telunjuk saya masukkan ke mulut putrid bungsu saya itu untuk digigit (agar lidahnya tidak tergigit saat kejang demam) sampai berdarah. Petugas Rumah Sakit Harapan International-Cikarang tempat Rizky sebelumnya dirawat sampai terheran-heran, mengapa begitu bertubi-tubi musibah yang keluarga kami alami. “Baru aja Rizky keluar, ini malah adiknya lagi yang masuk,”kata si petugas sambil geleng-geleng kepala. Saya tersenyum kecut.

Cobaan beruntun yang menimpa kami tak urung membuat saya dan istri mesti menjaga kondisi tubuh masing-masing agar tetap sehat dan bugar merawat anak-anak kami.

Istri saya yang belum pulih betul dari trauma mendalam serta rasa bersalah karena secara tak sengaja menyiram Rizky dengan air panas, tetap berusaha tegar. Meski ia tak dapat menyembunyikan keletihan diwajahnya.

Saya terus menghibur dan menenangkan istri saya dan tentu saja tetap menstimulir diri sendiri untuk tetap kuat dan tabah menghadapi musibah ini. Secapek dan seletih apapun saya.

Untunglah Alya dirawat tidak terlalu lama. Kondisinya lekas membaik sehingga ia sudah bisa pulang ke rumah Hari Minggu sore, 26 Agustus 2007.

Saat kedua anak saya kembali bercanda dan tertawa ceria, saya teringat kembali dua momentum penting yang menjadi semacam “mantera” ampuh menguatkan batin saya. Termasuk ketika ayah saya, diujung telepon berbisik lirih saat hari pertama Rizky masuk Rumah Sakit karena tersiram air panas,

”Kuatlah,nak. Hadapi musibah ini dengan tabah. Karena kamu laki-laki, karena kamu pemimpin rumah tangga, karena kamu ayah anak-anakmu, tempat mereka berlindung dan meredam keresahan hati mereka. Papa dan Mama akan tetap berdoa untuk kalian,” kata beliau dengan suara baritonnya yang khas dan membuat hati saya berdesir.