Google
 
<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5589029613667165524\x26blogName\x3dCatatan-Catatan+Hati\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://amriltg.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://amriltg.blogspot.com/\x26vt\x3d-3370372093065228379', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Selasa, Juli 31, 2007

AND MY SCHOOMZE AWARD GOES TO.....

Saya merasa tersanjung sekali hari ini.
Nama saya masuk dalam daftar penerima Schoomze Award ala Yaya di blognya (Thanks, Yaya!). Apakah gerangan penghargaan itu?. Dari informasi yang tertera di link ini, dapat dimaknai bahwa Schmoove Award itu adalah sebentuk penghargaan yang diberikan kepada seorang blogger yang telah bekerja keras membangun reputasinya dengan berkomentar di blog lain, berpartisipasi aktif di komunitas blog, membalas setiap komentar yang berada di blognya dan akhirnya, secara keseluruhan, menjadi bagian interaksi tak terpisahkan dengan blogger lainnya.

Definisi lain dari istilah Schmooze berdasarkan tulisan di blog ini adalah mengacu pada pengertian di http://www.dictionary.com/, yang menyatakan "Schmoozing as defined by Dictonary.com is the ability “to converse casually, especially in order to gain an advantage or make a social connection.” When it comes to blogging, schmoozing is your ticket to making new friends, getting yourself noticed and building a reputation.

Dengan susah payah, saya coba membuat daftar 5 orang blogger Indonesia yang menjadi motivator dan inspirator saya dalam ngeblog. Kelima sosok ini saya kira cocok dijadikan sebagai pemenang Schmooze Award versi saya.

and my Schmooze Award goes to....


Tomi adalah provokator saya pertama membuat blog. Dalam sebuah kesempatan chatting dengannya yang ketika itu sedang menempuh pendidikan di London sekitar empat tahun silam, Tomi--mantan wartawan TEMPO dan juga sekaligus adik kelas dua tahun dibawah saya di Jurusan Teknik Mesin UNHAS--menyarankan saya untuk membuat blog sendiri. Dan atas bimbingan dia via chatting yang intens (London-Jakarta), akhirnya jadilah saya seorang blogger, seperti saat ini. Sayang, hingga sekarang, blognya tidak diupdate lagi. By the way, Thanks ya, Tom!



Bung Jaf, demikian saya memanggilnya, bagi saya adalah salah satu blogger panutan saya. Kawan saya yang juga adalah salah seorang penyiar Radio di Singapura dan juga sesama kolega saya sebagai moderator di forum komunitas blogger terbesar di Indonesia, Blogfam, menuangkan pikiran, argumentasi dan gagasannya yang brilliant secara memikat di blognya. Termasuk secara konsisten memelihara interaksi virtual yang baik bersama blogger-blogger lainnya.

3. Asma Nadia


Blog Mbak Asma yang juga seorang penulis cerpen produktif dan juga CEO pada Lingkar Pena Publishing House kerap saya kunjungi. Meski jarang memberikan komentar disana, tulisan-tulisan di blognya sangat inspiratif dan menggugah. Secara konsisten dan ramah pula, Mbak Asma menanggapi setiap komentar yang mampir di blognya

4. Bayu Gawtama

Sejujurnya, sempat beberapa kali mata saya basah membaca posting-posting Bung Bayu yang mengangkat realitas kehidupan keseharian dalam bahasa sederhana namun menyentuh serta memikat ini. Bung Bayu yang baru saja menelorkan buku terakhirnya "Lelaki Sebelas Amanah" mengemas rangkaian kalimat dalam tulisan diblognya berdasarkan sejumlah pengalaman nyata yang pernah dialaminya. Begitu menggugah dan inspiratif.

5. Hernadi Tanzil

Saya kerap mengintip blog bung Hernadi ini sebagai salah satu referensi terpercaya bagi saya sebelum membeli buku baru. Ulasan bukunya lugas, tajam sekaligus menampilkan data serta gambar pendukung dari resensinya. Moderator milis Resensi Buku ini juga memelihara interaksi aktif dan ramah bersama para pengunjung di blognya.

Selamat buat kelima pemenang Schmooze Award versi saya ini !

Selasa, Juli 24, 2007

SARUNGAN ? SIAPA TAKUT ?

Sekitar tahun 1996 (11 tahun silam, tanggal tepatnya saya lupa), ketika itu saya masih kost di daerah Klender-Jakarta Timur dan bekerja sebagai salah seorang karyawan di PT.KADERA-AR INDONESIA Pulogadung.

Bersama 4 orang kawan (semua lelaki dan berstatus Jojoba atau Jomblo-jomblo bahagia), kami berinisiatif melakukan hal"sableng" yaitu: Nonton Bioskop di Studio 21 di Plaza Klender (sebelum terbakar karena peristiwa Mei 1998) dengan sarung paling bau. Peraturannya gampang. Masing-masing dari kami harus menyiapkan satu sarung paling bulukan yang mereka miliki (paling tidak belum pernah dicuci selama satu bulan terakhir) dan mengenakannya didalam bioskop dengan posisi sarung menutup kepala.

Maka demikianlah, pada Hari-H, kami semua datang ke bioskop dengan dandanan perlente dan rapi (tapi masing2 dari kami menenteng tas plastik berisi sarung). Setelah membeli karcis (filmnya waktu itu adalah Die Hard-3 dibintangi oleh Bruce Willis), kami masuk melalui pintu bioskop. Petugas bioskop sama sekali tidak menaruh curiga. Kami duduk di deretan tengah secara berurutan.

Penonton begitu banyak saat itu, maklumlah film ini termasuk kategori film Box-Office. Ketika Extra-Film diputar kami belum beraksi apa-apa. Tapi hati saya deg-degan juga melakukan aksi norak ini. Seorang kawan yang duduk paling ujung memberi kode untuk membuka tas dan mengeluarkan sarung masing-masing. Maka ketika film utama dimulai, secara serentak kami semua berdiri dan langsung mengibaskan sarung masing-masing sebelum dipakai.

Penonton lain tersentak kaget. Apalagi bau sarung kami--pasukan berani malu-- yang apek bin bulukan langsung menyebar kemana-mana.

Kami berusaha tenang dan memakai sarung tersebut, duduk kembali dengan sarung mengerudungi kepala. Spontan semua penonton disitu tertawa terpingkal-pingkal.

Petugas keamanan bioskop datang menghampiri kami.

"Mas, tolong kalo nonton disini, jangan pake sarung dong," tegur petugas itu.

Seorang kawan saya yang bertubuh tinggi besar, langsung menukas ketus, "Pak, kami kan' bayar. Terserah kami mau nonton pake gaya apapun, yang penting kami sudah menunaikan kewajiban membayar karcis"

Penonton dibelakang kami ikut mendukung.

"Biarin aja Pak. Mereka lucu-lucu," kata seorang ibu dibelakang kami.

Si petugas keamanan itu akhirnya pergi. Kami meneruskan menonton film sampai selesai. Terus terang, saat itu saya rasanya nyaris pingsan membaui sarung sendiri yang apek (ada bekas ngompolnya lagi, hehehe.. ). Belum lagi sarung kawan-kawan yang lain yang tidak kalah baunya.

Ketika film selesai, kami justru jadi tontonan. Beberapa diantara penonton saling berbisik satu sama lain sambil menunjuk kearah kami, lalu ketawa cekikikan. Salah seorang diantaranya datang menghampiri dan menyalami kami semua, sembari berkata,"Kalian orang-orang kampung yang hebat!". Kami menyambut jabat tangan itu dengan hangat dan akrab. Rasa malu dan juga bangga bercampur aduk.

Kami berusaha berjalan keluar bioskop setenang mungkin dengan menenteng tas plastik berisi sarung. Seperti tidak terjadi apa-apa. Ini benar2 pengalaman paling "gila" yang pernah saya alami.


Catatan :
Foto diambil dari sini

Label:

Kamis, Juli 19, 2007

NONTON BARENG SEPAKBOLA KORSEL Vs INDONESIA DIATAS BIS

BERBEDA seperti hari-hari biasanya, sepulang dari kantor hari Rabu (18/7), saya begitu memendam harapan dapat bertemu dan akhirnya ikut dengan “shuttle bus” Nomor 121 A jurusan Blok M-Kota Jababeka Cikarang. Dari tiga alternatif angkutan umum dengan rute Blok M menuju ke rumah saya di kawasan Perumahan Cikarang Baru Kota Jababeka, hanya bis ini saja yang menyediakan fasilitas Televisi untuk ditonton oleh para penumpangnya. Meski untuk itu, kompensasinya adalah tarifnya relatif lebih mahal dari dua bis angkutan alternatif lainnya. Kebanyakan para penumpang bis ini adalah pekerja komuter yang bekerja di Jakarta namun berdomisili di Cikarang.

Harapan saya terkabul. Tepat Pukul 17.35, bis 121 A melintas tepat didepan halte bis yang berada didepan Wisma Mulia Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan dimana saya telah menunggu kurang lebih sepuluh menit lamanya. Ketika naik dan duduk dikursi penumpang di baris kelima dari depan, saya sudah merasakan aura histeria yang demikian besar dari kurang lebih 30 orang penumpang menyaksikan tayangan siaran langsung laga sepakbola babak Penyisihan Group D Piala Asia antara Indonesia melawan Korea Selatan. Semua mata tertuju pada Televisi 14 inchi yang dipasang diposisi tengah depan tepat diatas bahu kiri sang supir.

Saya bersyukur, pertandingan itu ternyata baru saja dimulai. “Ini partai hidup mati. Indonesia mesti menang dalam pertandingan ini jika ingin lolos ke babak berikutnya,” gumam seorang lelaki separuh baya yang duduk disamping saya dengan mata tak lepas kearah TV yang kualitas gambarnya sangat jelek dan bergoyang-goyang karena penangkapan sinyal gambar yang pas-pasan dari antene TV darurat di bis tersebut.

Saya manggut-manggut mengiyakan. Bambang Pamungkas dkk yang tergabung dalam Timnas Sepakbola Indonesia memang mesti bekerja ekstra keras memenangkan pertandingan ini terlebih disaksikan oleh kurang lebih seratus ribu penonton pendukungnya di Stadiun Utama Senayan serta Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan istri. Dapat dipastikan pertandingan ini akan berjalan seru dan ngotot karena partai ini sangat menentukan apakah kedua tim ini bisa lolos ke babak selanjutnya atau tidak.

Sebenarnya, ini adalah kali kedua saya menikmati acara “nonton bareng tak sengaja” pertandingan sepak bola Piala Asia diatas shuttle bis Blok M-Kota Jababeka Cikarang. Pada Hari Selasa sore (10/7) saya menjadi peserta nonton bareng laga sepakbola diatas bis antara Indonesia melawan Bahrain. Ada kejadian lucu yang sempat terjadi.

Ketika itu seorang ibu, penggemar rutin acara Infotainment di salah satu TV swasta bersikeras agar acara kegemarannya yang ditayangkan dalam kesempatan tersebut. Sang kondektur bis kebingungan memilih saluran TV terlebih ada desakan sebagian besar penumpang meminta justru tayangan sepakbola yang ditampilkan. Namun sang ibu yang kebetulan duduk tepat dibelakang supir tampaknya lebih mendominasi dan bersikeras agar pilihannya yang ditayangkan.


Seorang bapak yang kira-kira umurnya hampir sama dengan ibu itu maju kedepan dan tampil sebagai “pahlawan” bagi kami semua, para penggila bola. “Bu, Ibu..Plis ya..kalau mau nonton gossip selebriti bisa kapan-kapan dan masih ada tayangan ulangnya. Kalau nonton bola Piala Asia apalagi kalau diadakan di Indonesia itu jarang-jarang lho, bu. Jadi tolong ibu mengalah sedikit, apalagi sekarang Tim Indonesia yang main. Kita semua sebagai sesama bangsa mesti mendukung tim sepakbola kita sendiri,” ujar sang Bapak tadi ke Ibu penggemar Infotainment dengan suara pelan berusaha membujuk si Ibu yang ketika itu melipat tangannya didada dan menoleh angkuh kea rah luar jendela bis.

Saya tertawa geli menyaksikan “aksi teatrikal” itu. Dari arah belakang terdengar teriakan kencang,”Ayoo,,Pak ganti aja!.Pertandingannya udah mulai dari tadi!”. Sang Bapak kemudian meraih remote control ditangan si kondektur yang masih terlihat bingung lalu merubah saluran TV ke pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Bahrain. Spontan khalayak pemirsa pecandu bola di bis itu, termasuk saya tentu saja, bertepuk riang. Sang ibu dengan wajah bersungut-sungut akhirnya pasrah –meski tak rela—menonton tayangan sepakbola yang berakhir dengan kemenangan Indonesia 2-1 atas Bahrain.

Kini momen itu terulang kembali. Meski sampai tak ada insiden dramatis seperti sebelumnya, saya merasakan gejolak “heboh”melanda seisi bis. Di menit 38, saat Elie Aiboy, striker Indonesia asal Papua “menusuk” jantung pertahanan Korea Selatan, kami semua menahan napas. “Elie .ayooo..bikin Gol!,” teriak seorang penonton dibelakang saya. Ia ternyata sudah berdiri diatas bangku bis sembari mengacungkan tinju ke udara. Kami tegang. Dan ketika Elie gagal “mengeksekusi” padahal ia memiliki jarak tembak dan peluang yang cukup memadai, spontan helaan nafas kecewa dari para penonton terdengar. “Wah, sayang banget ya Mas. Coba saja Elie bisa lebih tenang dengan mengocek bola lebih dulu didepan gawang seperti waktu melawan Arab Saudi tempo hari, mungkin dia bisa bikin gol,” komentar lelaki yang duduk disamping saya. Kembali saya manggut-manggut setuju dengan mata tak lepas dari layar TV. Bis kami melaju pelan disela-sela kemacetan di tol Pancoran.


Dari semua penumpang di bis memang tidak semua secara serius dan antusias menyaksikan pertandingan sepakbola di TV. Seorang gadis berjilbab yang duduk di baris ketiga dari depan dengan tenang membaca bukunya. Sama sekali tidak terganggu oleh hiruk pikuk supporter Indonesia dadakan didalam bis. Tak jauh dari gadis itu duduk seorang lelaki muda malah lelap tertidur dibawah hembusan AC dan tidak menggubris kehebohan yang terjadi selama acara “nonton bareng” dadakan itu.

Serangan Timnas Korea Selatan dikubu pertahanan Indonesia begitu gencar. Namun berkat kelihaian kiper Markus Horison yang menggantikan Yandry Pitoy, peluang gol dari timnas negeri ginseng sekaligus semifinalis Piala Dunia 2002 itu dapat ditepis. Seorang penonton di baris kedua depan berteriak kencang setiap kali kiper yang memperkuat PSMS Medan itu ber-“jibaku” menghadang serangan Korsel. “Bagus Markus!,” begitu serunya.

Akhirnya gempuran intens Korsel memberikan hasil. Bola datar pendek yang disodorkan Lee Chun Soo dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Kim Jung Woo. Tendangan keras pemain bernomor punggung 17 itu kemudian menggetarkan jala gawang Markus Horison. 1-0 untuk Korea Selatan!.

Seketika kami semua terdiam. Hening. Hanya deru suara bis melaju kencang melewati kawasan Cawang mendekati Jatiwaringin. Tidak ada sorakan atau teriakan spontan. Kami seperti merasakan duka dan kepahitan yang dialami Timnas Indonesia yang dilatih dibawah asuhan pelatih Ivan Venkov Kolev asal Bulgaria itu.

Semangat kami bangkit lagi saat sang Striker Elie membuka kembali peluang gol dibabak pertama. Ia melakukan penetrasi dari sudut kiri kotak penalty Korsel. Kawalan bek lawan berhasil dilewatinya. Kembali kami tegang dan menahan nafas. Saya mendengar penonton dibelakang saya menggeram gregetan. “Eliee…ayooo,” suaranya lirih, lebih mirip rintihan memelas seorang kekasih yang tak ingin ditinggal pergi sang pacar. Saya menggigit bibir. Ini kesempatan besar untuk membuat imbang posisi. Sayang sekali, umpan silang datar pemain asal Papua ini tak ada yang menyambut. Kami kembali mendesah kecewa.

Korsel makin rajin menggempur pertahanan Indonesia. Nampak jelas, kualitas permainan tim yang dilatih oleh Peter Verbeek itu masih diatas timnas kita. Meskipun begitu, saya mengaku salut atas kegigihan Timnas Indonesia yang bertahan mati-matian dan juga seringkali melakukan serangan mendadak ke jantung pertahanan Korsel walau akhirnya gagal.

Saat babak kedua memasuki menit ke 65, bis yang saya tumpangi dan menjadi ajang nonton bareng dadakan itu akhirnya sampai ke tujuan akhirnya, Perumahan Cikarang Baru. Sebuah perjalanan mengesankan nonton bareng diatas bis selama kurang lebih satu setengah jam. Saya melanjutkan menonton tayangan seru itu dirumah, setelah lebih dulu melakukan kompromi mesra dengan istri tercinta yang ketika itu sedang menonton tayangan sinetron kegemarannya.

Update (20/7):

Tulisan ini juga dimuat di situs Jurnalisme Orang Biasa, Panyingkul. Bisa dibaca disini. Thanks untuk Panyingkul!


Label:

Kamis, Juli 12, 2007

TOLOOONG...ANAK SAYA TAKUT NAIK PESAWAT TERBANG!


SAYA tidak tahu, apakah anak saya telah mengalami sebuah indoktrinasi sistematis dari Mr.T tokoh bertubuh kekar yang--ironisnya-- takut naik pesawat, sampai-sampai sang rekan Murdock mesti membiusnya dulu sebelum dibawa terbang (tokoh ini diperankan oleh B.A.Baracus dalam serial televisi terkenal The A-Team).

Awalnya ketika kami sekeluarga berencana pulang ke kampung halaman istri saya di Yogya. Untuk alasan efisiensi waktu, saya sudah menetapkan agar kami sekeluarga mudik kesana dengan menggunakan pesawat terbang. Saya bahkan sudah mengontak travel agent langganan kantor saya untuk memesan tiket. Namun saat rencana itu saya ungkapkan, anak tertua saya, Rizky, ia tiba-tiba berseru kencang : "Aku tidak mau naik pesaawaaat! Takut Jatuh! Pokoknya tidak mauuu!!".

Saya terperangah.

Dan saya makin tersentak kaget, ketika si bungsu putri kecil saya, Alya ikut-ikutan nyeletuk dengan suara cadelnya, "Aku juga gak mauu naik pecawat ! Takut Jatuh!".


Saya menepuk jidat. Istri saya menelan ludah. Kami tercekam dalam kesunyian.

Peristiwa kecelakaan beruntun yang menimpa beberapa penerbangan di Indonesia, rupanya menjadi pangkal semua itu. Ada tragedi jatuhnya pesawat ADAM AIR di Perairan Majene dan peristiwa terbakarnya pesawat Garuda Indonesia saat mendarat di Bandara Adisucupto yang menjadi referensi seram bagi kedua anak saya untuk anti naik pesawat terbang.
Tayangan televisi yang memberitakan peristiwa tersebut dan kerap memberikan pemandangan dramatis menambah ketakutan kedua anak saya.

Menurut istri saya, ketika menonton tayangan peristiwa terbakarnya pesawat Garuda di Bandara Adisucipto dan ada adegan seseorang memapah korban berlumur darah dari pesawat naas itu, kedua anak saya spontan menutup mata dengan kedua tangannya. Saya sempat menegur istri saya agar tidak mengarahkan kedua anak saya menonton tayangan "horor" di televisi. Tapi apa daya, hampir semua stasiun TV menayangkan kejadian itu dan meskipun televisi kami matikan, media non televisi lainnya seperti suratkabar (dimana saya berlangganan 2 suratkabar harian) ikut memberitakan peristiwa tragis tersebut.

Saya tak habis pikir kenapa kedua anak saya tiba-tiba mengalami trauma seperti ini. Rizky sebelumnya sudah pernah naik pesawat tiga kali pulang pergi (dua kali, dari/ke Jakarta ke/dari Yogya dan satu kali, dari/ke Jakarta ke/dari Makassar) sementara Alya baru satu kali saat kami mudik ke Makassar 2 tahun silam. Dan saya sama sekali tidak mendapatkan alasan yang cukup masuk akal, apa yang membuat mereka berdua tiba-tiba anti naik pesawat terbang. Saya masih ingat, si Rizky malah sangat menikmati penerbangannya. Juga sang adik yang bahkan dengan antusias duduk berdua bersama kakaknya dipinggir jendela menyaksikan awan dari balik kaca.

Saya akhirnya memutar otak untuk melakukan pendekatan persuasif agar kedua anak saya "sembuh" dari trauma naik pesawat terbang. Yang pertama adalah main pesawat terbang diatas tempat tidur. Saya bertindak sebagai penumpang, Rizky sebagai pilot dan adiknya,Alya, sebagai pramugari. Istri saya yang tersenyum simpul menyaksikan aksi kami disamping pintu kamar, bertindak sebagai Menara Pengawas Kendali Pendaratan/Pemberangkatan.

Rizky dan Alya menyusun bantal dan mengibaratkannya sebagai body pesawat. Saya, sebagai penumpang--yang digambarkan sebagai wong ndeso' , lugu dan katro' -- menaiki "pesawat" sembari celingak-celinguk genit seperti gaya Tukul Arwana di acara Empat Mata Trans-7. Kedua anak dan istri saya tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan aksi teatrikal saya itu. Hmm..syukurlah ini awal yang baik, pikir saya.

Sebagai pilot, Rizky menempatkan saya dibagian tengah "pesawatnya". Dan Alya, sebagai pramugari menawarkan kopi kepada saya dengan peralatan mainan masak-masakan miliknya. Istri saya, nampaknya menikmati perannya sebagai Menara Pengawas dengan baik. Ia hanya tetap berdiri disamping pintu, tetap tersenyum dan tentu saja, tetap mengawasi.

"Brruuuummm...", mulut si Rizky menggeram ibarat pesawat sudah mulai lepas landas. Saya bergoyang-goyang dengan gaya kocak seperti penumpang di angkot ketiduran yang baru saja melindas "polisi tidur". Si Alya memegangi punggung saya agar tidak bergerak lagi. Mulutnya menceracau tak jelas, mungkin seperti mengomel, "Ini penumpang satu kok ndeso banget sih? Mbok ya diam gitu lho and enjoy your flight!".

"Pesawat terbang" kami menderu kencang diatas awan. Membawa satu orang penumpang yang katro' yang dengan penuh penderitaan menikmati cerocos omelan tak jelas dari seorang pramugari cilik yang tak henti-hentinya menyodorkan cangkir kopi kosong untuk pura-pura diminum.

"Ituuu....awas ada buuruung terbaaanng!! Hati-hatiii..nanti ketabrak!", saya berseru sambil berpura-pura menunjuk-nunjuk panik ke arah "luar" pesawat. Alya dan Rizky ikut-ikutan mengikuti telunjuk saya.

"Itu bukan burung, Pa. Itu awan!" sahut Rizky tenang. Ia kembali ke "kemudi pesawatnya". Alya manggut-manggut menunjukkan solidaritasnya. Saya keki. Istri saya terkikik geli. Tapi dalam hati saya bersyukur, anak saya ternyata cukup terampil dalam hal mengendalikan kekacauan. Sungguh sangat berbakat sebagai polisi dan politisi.

Beberapa saat kemudian, persiapan pendaratan dilakukan. Dengan suara ribut Rizky "mendaratkan" pesawatnya dengan mulus. Alya dan ibunya bertepuk tangan. Saya tersenyum lebar. Inilah saatnya memasukkan "doktrin" itu.

"Nah, jadi kalau begitu kita pulang ke rumahnya Mbah/Eyang di Yogya atau kerumah Bapu/Oma di Makassar, pake pesaaaa.....", saya "menggantung" kalimat terakhir dengan harapan kedua anak saya menyambungnya dengan kata-kata yang "melegakan" hati.


"TIDAK MAU! AKU TIDAK MAU NAIK PESAWAT! TAKUT JATUH", tukas Rizky cepat dan lantang.

"AKU JUGA! AKU TIDAK MAU NAIK PECAWAT!" sambung si adik Alya tak kalah lantangnya. Mata kedua anak saya menyala-nyala, menyiratkan keyakinan kuat mereka.

Duh, Gusti!.


Saya kembali menepuk jidat dan istri saya pun mengelus dada. Prihatin.


Jurus persuasif lainnya kami terapkan. Kali ini memberi iming-iming hadiah kegemaran mereka jika mereka tak mau naik pesawat terbang. Tapi itu juga tidak mempan. Mereka tetap memilih tinggal dirumah saja dan tak mau dapat hadiah apapun daripada mesti naik pesawat terbang. Tampaknya ada pengalaman traumatik tersisa dibatin mereka. Saya jadi putus asa.


Tapi saya belum menyerah. Kuncinya ada pada Rizky. Adiknya si Alya hanya ikut-ikutan apa kata kakaknya saja. Sayapun melakukan audit investigasi atas seluruh CD Playstation miliknya. Ultimatum pun saya jatuhkan : Jika Rizky tidak mau naik pesawat terbang, maka tidak boleh lagi dia main game Playstation "tembak-tembakan pesawat" (begitu istilah dia, saya sendiri tidak tahu apa nama game-nya). Saya beralasan, masa' berani main game tembak-tembakan pesawat terbang tapi tidak berani naik pesawat.

Tapi, lagi-lagi, anak saya yang memiliki dua "unyeng-unyeng" diatas kepalanya ini (Istilah bakunya saya kurang mengerti, namun ini merujuk pada "pusaran rambut" dipuncak kepala, konon kata orang, "Unyeng-Unyeng" lebih dari satu menunjukkan kecerdikan sekaligus kenakalan sang pemiliknya) kembali menunjukkan bakat cemerlangnya sebagai calon politisi.


"Rizky mau main bola aja kalau begitu, nggak usah main tembak-tembakan pesawat," sahutnya tenang seraya mengambil koleksi CD Playstationnya.


Saya garuk-garuk kepala yang tidak gatal.


Jika langkah persuasif dan agresif sudah dijalankan, apa boleh buat, langkah berikutnya adalah kompromi sembari tetap mencari "jurus-jurus baru" membujuk kedua anak saya itu naik pesawat.

Kecelakaan Pesawat Terbang domestik yang terjadi di negeri ini sungguh sangat menggiriskan. Faktor keselamatan penerbangan menjadi prioritas yang kerap diabaikan. Jika anda baca di posting ini di awal tahun 2007 saja sudah ada 23 insiden penerbangan yang terjadi. Belum lagi tulisan ini yang menceritakan "Fear Factor" terbang dengan penerbangan domestik di Indonesia. Yang membuat saya geli dan sekaligus miris membaca tulisan di Majalah Mingguan Tempo edisi tanggal 9-15 Juli 2007 dimana dalam salah satu laporannya disebutkan telah terjadi insiden sebuah pesawat Boeing 737 dari sebuah penerbangan domestik di Indonesia yang kehilangan 13 baut roda depan ketika mendarat di Bandara Polonia Medan empat pekan sebelumnya.Hanya tersisa 1 baut saja untuk menahan pesawat 60 ton tersebut.

"Untunglah", insiden itu hanya membuat kaki pesawat "keseleo". Maka dibentuklah "Tim SAR" yang terdiri dari satuan pengamanan dan pemadam kebakaran bandara. Bukan untuk menolong para penumpang yang selamat dan sehat wal-afiat, namun mencari 13 baut yang tercecer di landasan sepanjang 2,9 kilometer itu. Karena kejadian itu berlangsung dimalam hari, "tim SAR" dibekali senter yang jika dari jauh mereka terlihat seperti pemburu katak. "Tim SAR" itu mesti menyingkir dulu sebentar dan menangguhkan "Operasi Pencarian Baut" saat ada pesawat yang mendarat atau lepas landas. Tak kurang Mardjono Siswosuwarno, anggota KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) yang ketika itu menyelidiki insiden tersebut didekat pesawat yang cedera sempat geleng-geleng kepala menyaksikan kejadian itu. Tingkah laku "Tim SAR" dan otoritas bandara membuatnya ngenes. "Masa' pesawat diperbolehkan lepas landas dan mendarat di landasan yang kotor. Ini melanggar buku teks," ujarnya pada Tempo.

Saya pun tak kalah geleng-geleng kepala dengan Pak Mardjono. Bagaimana jika baut yang jatuh itu saat pesawat sedang mengudara?. Plis deh!. Masa' sih Mas Pilot minta ijin dulu ke para penumpangnya dan memberi pengumuman ke para penumpang dengan suara yang berusaha "ditenang-tenangkan" seperti ini : "Ma'af para penumpang, berhubung baut roda depan jatuh, saya permisi dulu sebentar mau ngambil ya?. Jangan lupa banyak-banyak berdoa dan Selamat Tinggal semuanya!. Have a Nice Flight!". Hehehe.

Pesawat terbang bukanlah Metromini. Yang ketika mogok dijalan, sang kondektur dengan raut wajah tanpa dosa bisa meminta para penumpang membantu mendorong bersama-sama hingga metromininya bisa berjalan kembali (saya kerap mengalami hal ini, hingga terkadang bos saya dikantor terheran-heran melihat kemeja saya basah oleh keringat seperti baru saja habis mengikuti turnamen lari marathon Cikarang-Jakarta). Jika standar keselamatan penerbangan diabaikan dan dijadikan prioritas terakhir, maka yakinlah, dunia penerbangan domestik di Indonesia berada di senjakala dan ditubir jurang kehancuran. Keseriusan dan kedisiplinan aparat terkait serta operator penerbangan domestik terutama dalam hal mengedepankan faktor keselamatan penerbangan dan tidak semata-mata mementingkan aspek komersil belaka, sangat diperlukan. Jangan sampai harga tiket pesawat akan sama murahnya dengan nyawa manusia. Mestinya larangan terbang Uni Eropa untuk seluruh pesawat domestik Indonesia melintas dilangit mereka menjadi sarana introspeksi bagi kita semua untuk meningkatkan kualitas penerbangan di Indonesia.

Sembari menggenggam pil anti sakit kepala dijemari tangan, saya sempat berfikir, ide si Murdock sableng untuk membius Mr.T dalam film seri The A-Team boleh juga diaplikasikan. Mungkin tidak perlu pake obat bius dosis tinggi tapi obat pilek ringan yang menyebabkan kantuk sehingga kedua anak saya bisa tertidur saat pesawat mengudara. Lamunan saya buyar saat mendengar suara istri saya.

"Pa, kok Pil KB saya berkurang satu ? Papa minum ya ?" tegur istri saya cemas.

Saya kaget setengah mati.

Pil KB yang saya sangka Pil anti sakit kepala itu sudah masuk ke perut saya sejak tadi. Setidaknya bisa ditarik tiga hikmah dari peristiwa ini. Yang pertama, untuk menghindari resiko salah ambil obat, janganlah coba-coba berfikir mengenai kekisruhan pengelolaan penerbangan domestik Indonesia ketika sedang sakit kepala, yang kedua, jangan coba-coba berfikir untuk membius anak agar bisa naik pesawat terbang seperti yang dilakukan oleh Murdock terhadap Mr.T di A-Team karena bisa kualat akibatnya (juga bisa kena damprat oleh Kak Seto dkk di Komisi Nasional Perlindungan Anak), dan yang ketiga adalah, sudah saatnya beralih ke Kondom sebagai alat kontrasepsi alternatif..hehehe



Label: