Google
 
<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5589029613667165524\x26blogName\x3dCatatan-Catatan+Hati\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://amriltg.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://amriltg.blogspot.com/\x26vt\x3d-3370372093065228379', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Rabu, Agustus 29, 2007

PAPA, JANGAN MENANGIS !

Peringatan Hari Kemerdekaan ke-62 tahun ini, 17 Agustus 2007 merupakan hari kelabu buat keluarga kami. Anak tertua saya, Muh.Rizky Aulia Gobel, yang baru saja keluar dari Rumah Sakit seminggu sebelumnya karena sakit typhus, terpaksa masuk rumah sakit lagi karena tersiram air panas dari bagian dada ke perut.

Kejadian memilukan itu terjadi dipagi hari saat saya dan putri bungsu saya, Alya sedang merias sepeda Rizky dalam rangka Karnaval 17 Agustus 2007 yang akan dilaksanakan pada sore harinya. Pada saat yang sama, Rizky sedang nonton film kartun di Televisi sambil diberi makan pagi oleh Bibi, pembantu saya.

Istri saya, yang berniat untuk mandi mengangkat panci yang berisi air panas ke kamar mandi. Tanpa disangka-sangka, Rizky berlari kencang kearah luar dan akhirnya menabrak panci berisi air panas tersebut. Tak ayal tubuh putra pertama saya itu terguyur air panas mendidih. Rizky berteriak histeris. Saya segera berlari dan membopong tubuh putra pertama saya itu ke kamar mandi. Tubuhnya berkelojotan menahan sakit. Dikamar mandi, saya segera mengeluarkan kaos yang dikenakan Rizky ketika itu (sebagian besar sudah sobek). Dengan tangan gemetar dan mata basah, istri saya mengguyur tubuh Rizky dengan air dingin di kamar mandi untuk meredakan panasnya. Pada bagian dada Rizky sudah berwarna putih dan kulit gosong terkelupas. Di lengan kirinya dari ketiak hingga jari melepuh. Sebagian berwarna putih dan sebagian berwarna hitam.

Istri saya langsung menggendong Rizky dan tergopoh-gopoh memanggil ojek yang sedang mangkal didekat rumah kami. Sayapun segera menyambar anak kedua saya, Alya yang tertegun didepan pintu menyaksikan kejadian mengerikan itu lalu bergegas naik ke ojek berikutnya. Kami segera Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Harapan International Jababeka Cikarang yang terletak kurang lebih 2 km dari rumah kami.

Di ruang gawat darurat rumah sakit, dua orang dokter jaga dan lima orang perawat dengan cekatan menangani Rizky yang terus menerus berteriak kencang. Saya berada disamping kepala Rizky berusaha menenangkannya. Tak jauh dari situ, Istri sayapun menangis kencang sembari menggendong Alya. Seorang perawat wanita setengah baya nampak sedang merangkul pundak istri saya.

Larutan NaCl yang dingin disiramkan terus menerus ke tubuh Rizky oleh dua orang perawat. Pada bagian dada dan lengan sebelah kiri terlihat berwarna putih dengan kulit terkelupas. Saya tidak tega melihatnya apalagi melihat Rizky terus berteriak menahan sakit dan panas yang tak tertahankan. Saya memandang pilu putra terkasih saya itu dan seraya berusaha menahan agar airmata saya tidak tumpah. Jika memang memungkinkan, ingin rasanya saya memindahkan rasa sakit yang dialami Rizky kepada saya.

Setelah dilakukan penanganan seperlunya di ruang Unit Gawat Darurat, Rizky lalu dipindahkan ke kamar 314. Istri saya dan Alya pulang kembali kerumah menyiapkan perlengkapan saya dan Rizky di Rumah Sakit.

Saat pamit pulang pada Rizky, tangis istri saya meledak kembali ketika Rizky berucap lirih saat ibunya mencium keningnya.

“Mama, kenapa mas kiki disiram air panas ?”

Spontan wajah istri saya memucat. Ia langsung mendekap wajah Rizky dengan mata basah oleh airmata.

“Mama tidak sengaja, nak. Mama tidak sengaja,” ucap istri saya terbata-bata. Raut wajah penyesalan tergambar diwajahnya. Rizky menggigit bibir lalu memejamkan matanya.

Saya memeluk erat Alya yang meringkuk sedih ke dada saya. Degup jantung saya berdetak begitu cepat. Keharuan meruap kental diruangan kamar 314.

Istri saya mengambil alih Alya dari pelukan saya. Dengan punggung tangan saya menghapus air mata dipipinya lalu memeluk erat kedua perempuan yang sangat saya cintai itu. Membagi kehangatan juga membangkitkan ketabahan. Pelupuk mata saya mulai menghangat. Basah.

Rizky menyaksikan pemandangan memilukan itu dari tempat tidurnya.

“Papa, jangan menangis!” serunya pelan.

Saya buru-buru menyeka airmata yang tumpah dengan punggung tangan kemudian bergegas mendekati Rizky disisi pembaringan. Lalu mencium pipinya.

“Papa tidak nangis, nak. Hanya kemasukan lalat,” saya berusaha menenangkan hati putra tertua saya itu seraya mengusap lembut kepalanya.

Kamar 314 sangat dingin. Perawat sudah menyetel Air Conditioner ke temperatur paling rendah agar rasa panas menusuk yang dialami didada akibat siraman air panas Rizky dapat teratasi. Ternyata itu belum cukup. Rizky masih mengerang kesakitan sekaligus kepanasan.

Saya lalu mengambil koran yang terletak disamping meja dan mengipas-ngipasi tubuh anak tercinta saya itu. Keadaannya sudah lebih baik. Rizky menjadi sedikir lebih tenang walau belum juga tertidur, padahal sudah diberikan obat anti nyeri dan obat penenang sejak di ruang ICU tadi.

Saya berusaha menahan kesedihan yang meluap-luap dalam dada saat menyaksikan kondisi anak tercinta saya mengalami kepedihan yang luar biasa. Luka bakar yang dialami Rizky cukup besar, sekitar 20% dari seluruh badannya.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Keterangan : Rizky, 3 jam setelah kejadian (17/08/2007)

Terbayang kembali keceriaan Rizky dan juga sikap antusiasnya—bersama sang adik, Alya—menyongsong kedatangan saya pulang dari kantor. Mereka berdua langsung menyerbu saya dengan ciuman dan berebut minta digendong. Kedua anak saya itu lalu naik bergantian “menginjak” punggung saya diatas tempat tidur sembari sesekali bercanda satu sama lain. Keletihan saya menjadi pekerja komuter Jakarta-Cikarang seketika menguap.

Rizky juga sangat senang saya ajak main tembak-tembakan di Timezone ataupun Playstation dirumah. Kami berdua sering bermain dan tertawa bersama jika salah satu diantara kami kalah atau “tertembak musuh”.

Pada saat yang sama saya terkenang kebandelan Rizky masuk sarung dan mencabuti bulu kaki saya saat sholat di Masjid belakang rumah atau suara lengkingan “Amiin”-nya ketika kami sekeluarga sholat berjamaah bersama. Saat saya, Rizky dan Alya jalan-jalan sore menumpang motor Suzuki Shogun kami yang berjalan dengan kecepatan rendah di akhir pekan, saya kerap mendengar Rizky—yang duduk dibelakang saya—berteriak kencang menentang angin. Alya adiknya yang duduk didepan, ikut-ikutan berteriak mengikuti ulah kakaknya. Kami lalu tertawa bersama.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Keterangan : Kondisi Rizky Hari Minggu,19 Agustus 2007

Tanpa sadar airmata saya menitik. Rizky yang baru saja seminggu keluar dari Rumah Sakit yang sama karena sakit Typhus kini harus kembali lagi dirawat inap karena musibah tak terduga tersiram air panas. Sungguh berat derita yang dialami putra sulung ini.

“Papa, jangan menangis!” seru Rizky tiba-tiba.

Saya terperangah lalu buru-buru menghapus airmata yang jatuh dipipi dan kembali mencium pipinya. Lama.

Saya paham, sesedih apapun saya, Rizky menghendaki, sebagai ayahnya, saya tetap tegar dan tangguh menghadapi cobaan ini. Dia tidak ingin melihat saya menangis dan cengeng didepannya, untuk kemudian menemaninya, menguatkannya, melewati sakit yang kini ia derita.

Saya membelai lembut rambut Rizky dengan tangan gemetar. Mata jernih Rizky menatap saya dengan tajam. Saya lalu menggenggam erat jemari tangan kanannya. Mengalirkan kekuatan dan keyakinan. Rizky balas meremas jemari saya seakan memberi isyarat, “Saya akan kuat Papa. Saya pasti kuat”.

Malam harinya, usai sholat disamping pembaringan Rizky, saya memanjatkan doa kepada Allah SWT. Musibah yang kami sekeluarga alami saat ini, merupakan sebuah teguran sekaligus manifestasi cintaNya pada kami. Saya berjanji pada diri sendiri untuk menghadapi musibah ini dengan tegar dan tawakkal serta merangkul anak dan istri saya melewatinya bersama-sama penuh ketabahan dan keikhlasan. Saya memohon kepada Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang untuk membekali saya dan keluarga kekuatan menghadapi cobaan berat ini sekaligus doa kesembuhan buat ananda tercinta, Rizky.

Dalam keheningan kamar 314, saya mengecup kening Rizky yang sudah tertidur lelap. Dada saya disesaki keharuan. Mendadak Rizky terbangun, lalu kemudian menatap saya dan berkata lembut, “Papa, jangan menangis!”.

Saya menggeleng pelan.

“Papa tidak menangis, nak. Tidurlah..”, saya menyahut lalu mencium pipinya.

Rizky kembali tertidur. Dengan senyum menghias dibibirnya. Senyum paling manis yang pernah saya lihat.

Label:

Rabu, Agustus 15, 2007

STRATEGI JITU MELAMPIASKAN NGIDAM

Sejak Istri saya dinyatakan hamil oleh dokter--setelah penantian kami yang cukup panjang selama 3 tahun--maka sebagai suami yang berbahagia (karena perkasa) telah berhasil "membuahi" istri tercinta, saya begitu bersemangat memanjakan perempuan yang tengah mengandung anak pertama kami itu. Bentuk-bentuk upaya memanjakan itu antara lain, mengubah panggilan dari "Saya-Kamu" menjadi "Papah-Mamah" (dengan tambahan huruf "h" dibelakang yang dilafalkan dengan desahan yang romantis, sedikit erotis).

Tidak hanya itu. Saat saya atau istri memanggil maka kami akan saling memperlihatkan gestur tubuh penuh kemesraan satu sama lain. Jadi misalnya jika istri saya memanggil dengan bibir basah merekah, "Papah, sayangkuh, cintakuh", maka spontan saya menjawab dengan mata dikedap-kedipkan dengan genit seperti Tessy digoda Asmuni dalam lakon komedi Srimulat,"Adah apah Mamah?".

Norak bukan?.

Tapi begitulah cara kami mengekspresikan kasih sayang satu sama lain yang lebur dalam ekstase kebahagiaan kami menyambut kelahiran anak pertama. Saya begitu rela berkorban apapun demi membuat istri saya senang, termasuk tentu saja berusaha membantu melampiaskan perasaan ngidamnya yang kerap mendera tak kenal waktu.

Pada suatu siang ditengah kesibukan saya dikantor, tiba-tiba handphone saya berdering. Dari rumah.

"Papah, lagih ngapain ?"

"Mamah, Papah lagih kerjah. Kenapah Mamah?"

"Nggak. Mamah lagih pengen makan baksoh"

"Makan Baksoh?. Belih ajah yang lewat. Kan' banyak tuh"

"Aiiihh...Papah. Bukan Bakso yang itu yang Mamah mau!"

"Terus, mau yang bagaimanah Mamah? Dimana-mana Bakso kan' sama aja!"

"Papah, Mamah maunya yang seperti Bakso di Perempatan Jalan Kaliyoso dekat rumah di Yogya. Itu baksonya enak banget Papah"

Saya menepuk jidat. Ini pasti bawaan orok nih, saya membatin.

"Iya deh, nanti Papah cariin. Tunggu ajah, nanti Papah bawa ke rumah"

"Makacih Papah. Mamah sayaaaaang deh sama Papah!"

Teleponpun ditutup. Dan sayapun termangu kebingungan. Dimana saya mesti mendapatkan bakso seenak bakso di Kaliyoso ?. Masa' sih saya mesti terbang ke Yogya, beli bakso disana dan kembali lagi ke Jakarta di hari yang sama ?. Tiba-tiba terbersit ide di benak saya. Di daerah Pasar Minggu (ketika itu, kami masih tinggal di rumah kontrakan di Kompleks POMAD Kalibata)kan' banyak Bakso yang lumayan enak.

Maka demikianlah, pulang dari kantor, saya langsung meluncur ke Bakso Titoti di Jalan Raya Pasar Minggu. Dan sebungkus bakso porsi besarpun saya bawa kerumah, demi melampiaskan ngidam istri tersayang. Di pintu depan istri saya menyambut suami tercinta bagai menyongsong pahlawan pulang perang. Setelah cipika-cipiki (cium pipi kiri dan kanan), istri saya langsung membuka bawaan saya.

Tak lama kemudian, terdengar desahan kecewa dari mulutnya.

"Yaaahh..bukan bakso kayak gini Papah!", gerutu istri saya kesal.



"Ini kan' bakso juga sayang. Malah kata orang, bakso paling enak di seantero Pasar Minggu dan sekitarnya. Coba aja dulu sayang," saya mencoba membujuknya.

Istri saya menggeleng kencang. "Papah makan ajah sendiri!. Mamah gak mau!"

Saya menghela nafas panjang. Saya mesti memikirkan strategi yang jitu untuk melampiaskan rasa ngidam istri saya ini. Tentu dengan memakan bakso "tiruan" Kaliyoso "Made in Pasar Minggu" ini.

"Hmm..ngomong-ngomong soal bakso, Mamah mau dengar cerita Papah gak nih?", kata saya dengan suara selembut mungkin. Istri saya hanya diam. Dan sayapun mulai bertutur tak peduli istri saya setuju atau tidak.

Ceritanya begini,


Kisah ini terjadi pada Tahun 1993, saat Papah masih mahasiswa dan tengah melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di sebuah Kecamatan di Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan. Papah saat itu menjabat sebagai Korcam (Koordinator Kecamatan) yang membawahi 5 Kordes (Koordinator Desa). Usai pertemuan koordinasi tingkat Kabupaten sebelum berangkat ke wilayah kerja masing-masing, para Koordinator mampir sebentar di Warung Bakso di ibukota Kabupaten. Kami semua menyantap bakso dengan lahap. Soalnya, waktu itu kami berfikir, kalau sudah tinggal di desa terpencil nanti, bakalan susah makan bakso.

Singkat cerita, Papah menempati pos baru di desa yang berjarak kurang lebih 10 km dari ibukota kabupaten. Papah tinggal bersama-sama 5 orang kawan lainnya yang datang dari berbagai Fakultas di UNHAS. Keesokan harinya, Papah didatangi oleh seorang Kordes (Koordinator Desa) yang menumpang sepeda motor pinjaman kepala desa setempat tempat ia tinggal. Ia mengajukan protes--mungkin lebih tepatnya curhat--pada Papah.


Sampai disini saya melirik istri saya. Ia masih duduk mematung dengan menoleh ke arah lain. Kelihatannya ia mulai menyimak cerita saya.


"Mau dilanjutin nggak ?. Kalau mau, Mamah makan dulu tuh Baksonya, biar sedikit," saya membujuk.

Istri saya menggeleng.

Saya menyerah dan melanjutkan cerita kembali.

Sang Kordes bercerita bahwa desa yang ditempatinya sangat terpencil dan jauh dari peradaban modern. Listrik pun belum masuk kesana. Alkisah, pada malam harinya, sepulang makan bakso bersama kami, mendadak ia sakit perut dan ingin buang air besar. Rupanya ia terlalu banyak makan sambal. Sang Kordes lalu mengajukan niatnya ini kepada tuan rumah, si kepala desa setempat.


Tak disangka, si kepala desa (Kades) malah mengajak sang Kordes kebelakang. Ia lalu memberikan sang kordes sebuah cangkul dan ember berisi air dengan gayung kecil didalamnya. Sang Kordes keheranan. "Ini buat apa, pak?" tanyanya. Pak Kades tidak menjawab malah menunjuk ke halaman belakang rumahnya yang gelap gulita.

"Kamu buang hajat disana. Di kebun belakang. Jangan lupa bawa sarung," kata si Kades akhirnya. Ia lalu pergi tanpa sempat menjelaskan lebih lanjut maksud ucapannya pada sang Kordes. Untunglah, dengan kecerdasan intelektual mahasiswa tingkat akhir, sang kordes bisa menganalisa maksud Pak Kades. Ternyata, karena di desa tersebut tidak ada Kloset/WC maka warga disana buang hajat di kebun belakang dengan menguburnya.
Setelah mengambil sarung, sang kordes pun melanjutkan menuntaskan hajat. Dasar "anak kota" untuk menemaninya sendiri dikeheningan malam, ia membawa Walkman miliknya tentu saja bersama perbekalan penting lainnya yaitu, Sarung, Cangkul dan seember air. Papah membayangkan betapa berat penderitaan sang Kordes. Sudah begitu sengsara menahan hajat, kini ia pun harus mencangkul dan menggali tanah tempat "si hajat" itu disemayamkan.

Saya menirukan gaya Pak Kordes mencangkul tanah dengan ekspresi yang begitu menyedihkan, seperti lelaki yang baru diusir mertua. Terlihat istri saya sudah mulai tertarik. Ia tersenyum-senyum sendiri. Ketika saya melirik ke meja, ternyata mangkuk bakso sudah berkurang setengah. Bagus!

Sang Kordes lalu mengambil posisi jongkok dengan sarung mengerudungi kepala, tepat diatas "lubang persemayaman hajat"-nya. Cangkulnya ia letakkan disamping kirinya dan disamping kanannya adalah ember berisi air secukupnya. Suasana begitu senyap saat itu. Juga sangat gelap. Ia lalu menyetel Walkmannya untuk mengusir rasa takut yang mendera. Sesaat kemudian sang Kordes terbuai dalam kesyahduan.

Istri saya tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan saya beraksi menirukan gaya sang Kordes menunaikan hajat. Tentu dengan berjongkok sembari kepala diangguk-anggukan mengikuti irama musik dari Walkmannya. Saya melirik kembali ke mangkuk bakso diatas meja. Wah..sudah habis!. Licin tandas!. Bagus!.

Tiba-tiba tak disangka-sangka dari arah belakangnya terdengar gonggongan anjing. Menuju kearahnya. Begitu cepat. Sang Kordes terkejut dan lari terbirit-birit. Sarung diangkatnya dan tanpa peduli pada hajat yang belum selesai dilaksanakan, ia mengambil langkah seribu dan lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Di belakangnya seekor anjing kampung mengejarnya disertai gonggongan keras. Anjing itu mencoba menggigit ujung sarung sang kordes yang berkibar-kibar. Rupanya anjing tersebut tertarik mendengar suara lirih lagu dari walkman yang diputar Sang Kordes yang akhirnya bisa menyelamatkan diri dengan memanjat pohon. Bugil pinggang kebawah. Sarung bersama sebagian sisa "hajat"-nya tertinggal dibawah pohon.

Tawa istri saya meledak kencang. Memenuhi ruang keluarga dirumah kontrakan kami. Ia semakin geli menyaksikan saya menirukan aksi memilukan sang kordes yang ketakutan digigit anjing diatas pohon. Strategi saya berhasil!. Istri saya akhirnya bisa melampiaskan ngidamnya memakan bakso.

Dua hari kemudian, istri saya menelepon saya lagi.

"Papah, beliin bakso lagi ya...tapi.."


"Beres Mamah, tapi apa ?"

"Ceritain lagi dong, sambil makan bakso..."




Label:

Selasa, Agustus 14, 2007

LELAKI YANG SELALU MENCATAT KENANGAN


“Jangan lupa kirimkan Papa buku diary kosong yang baru untuk tahun depan ya, Nak”

Kalimat itu kerap diucapkan oleh ayahanda tercinta saya, Karim Van Gobel, setiap akhir tahun menjelang. Hanya sebuah Buku Diary Baru Kosong. Dan saya, dengan semangat membuncah, akan segera berangkat ke Toko Buku mencari pesanan rutin akhir tahun ayah saya itu. Bagi saya, menganugerahkan sebuah buku diary baru kepada ayah saya—tiap akhir tahun—merupakan sebuah kehormatan tersendiri yang begitu besar dan berharga. Sebuah rutinitas yang senantiasa saya lakoni dengan riang, sejak merantau ke Jakarta tahun 1995.

Ayah saya adalah lelaki yang begitu tekun mencatat kenangan, dalam serpih terkecil sekalipun, di setiap rekam jejak perjalanan hidupnya dalam buku diary. Konon, beliau sudah memulai menulis diary sejak saya lahir (hal yang kemudian menginspirasi saya untuk menulis blog anak pertama saya, Rizky, sejak ia lahir tahun 2002).

Dapat dibayangkan sudah sekitar 37 buku diary yang beliau tulis hingga saat ini (saya lahir tahun 1970). Dan lelaki kelahiran Gorontalo, 12 Desember 1939 ini tetap setia mencatat kenangan yang datang melintas, menggoreskan kesan dan meninggalkan jejak di hati. Buku-buku diary beliau tersimpan rapi di lemari kamar, meski beberapa diantaranya sudah lusuh dan kumal digerus zaman. Saya membayangkan, kelak dikemudian hari jika saya berkeinginan untuk membuat buku otobiografi maka saya tidak perlu repot-repot mencari referensi karena setiap kenangan tentang saya dan keluarga sudah terdokumentasi dengan baik.

Saya sudah hapal model buku diary seperti apa yang beliau inginkan. Pada tahun 1996, saya pernah salah mengirim buku diary. Ketika itu, untuk lebih menyenangkan hati ayah yang juga adalah pensiunan pegawai negeri Departemen Pertanian ini, saya membelikan sebuah Executive Planner and Diary yang mewah, lengkap dengan pembungkus kulit berwarna coklat. Beberapa saat kemudian, ayah saya menelepon dan memarahi saya. Ternyata bukan seperti itu yang beliau inginkan.

“Cari yang sederhana aja nak. Yang penting ada tanggal dibagian atas serta bagian kosong yang cukup lapang untuk menulis di tiap lembar. Pasti kamu tahu seperti apa modelnya. Pokoknya seperti yang Papa punya dulu dirumah. Tidak usah yang mahal-mahal.!”, ucap ayah saya di ujung telepon.

Saya mengangguk mafhum. Dan saat itu juga saya langsung berangkat ke toko buku dan membelikan buku diary yang sama seperti yang senantiasa saya lihat ketika masih di Makassar dulu. Agar memudahkan identifikasi, saya selalu membelikan buku diary yang berbeda-beda warna sampulnya setiap tahun, namun dengan model yang sama.

Sebenarnya, ayah saya tidak pernah melarang saya untuk “mengintip” apa isi buku diary-nya. Tapi saya menyadari bahwa bagaimanapun juga, membaca catatan harian seseorang—terlebih lagi milik ayah sendiri—adalah melanggar hak pribadi penulisnya. Saya sangat menghormati itu. Selama bertahun-tahun.

Sampai akhirnya, ketika ayah dan bunda saya datang mengunjungi kami sekeluarga dalam rangka akikah anak saya Rizky di tahun 2002, saya mendapatkan untuk kesempatan pertama kalinya membaca diary ayah. Waktu itu, di penghujung malam, sembari menonton TV, saya menemani ayah menuliskan diary-nya. Saya memperlihatkan mimik yang sangat antusias untuk “mengintip” apa yang sedang dituliskan ayah saya dilembaran bukunya.

“Kenapa ? Mau baca ?” tanya ayah saya dengan pandangan menyelidik dari balik kacamata minusnya.

Saya terperangah kaget dan buru-buru menggeleng.

“Tidak apa-apa. Ini, baca aja, nak,” lanjut beliau sembari mengangsurkan buku diarynya pada saya yang sangat terkejut sekaligus senang bukan main mendapat kehormatan membaca buku diary ayah saya.

Ternyata isinya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Dalam fikiran saya, ayah menulis diary dengan uraian-uraian yang panjang, deskriptif , emosional, kadang-kadang narsis plus opini-opini singkat tentang sebuah hal, seperti layaknya gaya penulisan gadis-gadis ABG di buku hariannya. Tapi ternyata sangat berbeda.
Isi catatan harian beliau berupa tulisan-tulisan singkat yang merangkum isi kegiatan hari ini. Hanya berupa lima sampai sepuluh kalimat. Setiap peristiwa dalam hari yang sama dirangkum dalam tulisan singkat secara berurutan. Sesuai waktu kejadiannya. Saya membuka-buka lembaran sebelumnya. Dan isinya tetap sama model penulisannya.

“Papa tidak pintar menulis seperti kamu, nak. Jadi kalau kamu mengharapkan tulisan yang panjang-panjang di diary Papa, maka pasti tidak akan kamu dapatkan. Papa hanya mencatat peristiwa demi peristiwa yang terjadi setiap hari. Secara singkat tapi padat makna,” kata ayah saya menjelaskan seperti telah mengetahui apa yang tengah saya fikirkan ketika itu.

Saya mengerti.

Betapapun bersahajanya ayah mencatat kejadian di buku hariannya, saya melihatnya sebagai upaya beliau mengabadikan kenangan yang telah terjadi. Secara konsisten selama bertahun-tahun. Dan kalimat-kalimat singkat yang beliau tulis di buku diary-nya mendadak menjelma menjadi sebuah interpretasi nyata di benak saya. Seperti sebuah video yang di-“rewind” ulang dan menyajikan kembali peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi.

“Beginilah salah satu cara Papa menghargai nikmat hidup yang sudah dikaruniakan Allah SWT kepada kita, Nak. Mencatatnya, sesederhana apapun. Dan menyimpannya sebagai bagian dari kenangan hidup yang tak terpisahkan juga sebagai wujud dari rasa syukur kita kepada sang pencipta karena masih diberikan nafas untuk melanjutkan hidup,” tambah ayah saya lagi. Tegar dan penuh keyakinan.

Mata saya berkaca-kaca.

Saya bangga memiliki ayah seperti beliau, lelaki yang selalu mencatat kenangan.

Label:

Sabtu, Agustus 11, 2007

DESPERATE SEEKING CHILD - AN EPIC STORY

Di pucuk alam, saya menyaksikan kedua anak saya, Alya dan Rizky, tertidur pulas. Putra tertua saya. Rizky, meringkuk bersama guling disampingnya. Dengkur halus terdengar dari bibirnya yang mungil. Tak jauh dari situ, adiknya, Alya terlihat sedang mendekap erat leher ibunya. Salah satu kaki anak bungsu saya tersebut berada diatas paha bundanya yang juga sedang "berlayar ke alam mimpi" sembari memeluk kedua buah hatinya itu.

Saya tersenyum.


Betapa cepat waktu berputar. Ingatan saya mendadak terlontar pada suatu petang yang muram akhir tahun 2001. Istri saya duduk dengan wajah murung di atas kursi rotan panjang pada ruang tamu rumah kontrakan kami di Taman Aster Cibitung.


Merenung lama. Kesedihan terlihat menggayut diwajahnya.


Saya sudah tahu apa maksudnya.


Setelah resmi menjadi istri saya bulan April dua tahun sebelumnya, saya seperti dibekali sebuah karunia magis untuk menebak apa sesungguhnya yang istri saya fikirkan saat itu. Karunia yang sebenarnya saya tidak tahu dari mana asal muasalnya. Apakah itu karena hubungan biologis kami yang begitu intens yang menyebabkan simpul-simpul syaraf tergetar antar kami dan mengalirkan "sixth sense" atau karunia itu merupakan warisan genetis dari keluarga saya (siapa tahu kan'saya memiliki kemampuan ala Deddy Corbuzier atau David Copperfield tanpa saya sadari ?) atau bisa jadi sebab terakhir : saya begitu sering menyaksikannya merenung pilu seperti ini.


"Pasti kamu resah soal anak lagi ya?," saya "menembak" langsung ke titik utama pembicaran. Membuyarkan lamunan..


Istri saya tidak menjawab. Ia hanya menggigit bibir. Tiba-tiba air mata menggenang dipelupuk mata dan perlahan membasahi pipinya. Saya trenyuh dan duduk disamping perempuan kelahiran Yogya yang sangat saya cintai itu seraya meraih kepalanya didada saya. Membuatnya sedikit lebih nyaman berbagi kegundahannya bersama saya.


"Baru dua tahun kok. Anggap aja kita masih pacaran," saya menggumam getir mencoba menghiburnya. Dalam sanubari, saya sebenarnya merasakan kegundahan serupa. Hati saya ikut teriris bila menyadari fakta bahwa di tahun kedua usia pernikahan kami, Allah SWT belum mempercayakan amanah seorang anakpun kepada kami berdua. Tapi saya berusaha tegar dan tak larut dalam kepedihan itu.


"Sudah dua tahun…masa' mau pacaran terus?", tukas istri saya dengan nada tinggi.


"Paling tidak," saya mencoba berkilah,"kita coba ambil hikmahnya,. Allah SWT justru begitu menyayangi kita sehingga belum memberikan karunia itu karena kondisi perekonomian kita yang mungkin kurang memungkinkan mengasuh dan membesarkan anak. Atau bisa juga.."


"Tapi bagaimana dengan keluarga-keluarga yang miskin ?., Mereka tetap dikaruniai anak tidak hanya satu tapi lebih dari itu!. Padahal kemampuan perekonomian mereka masih jauh dibawah dari kita!" potong istri saya sengit. Matanya tajam menyala Ada kilat putus asa membayang disana.


"Jangan pernah mempertanyakan itu. Apakah nasib yang kita alami saat ini, adil atau tidak. Semua adalah menjadi rahasia Allah SWT. Boleh saja secara finansil kita lebih mapan dari mereka. Tapi secara emosional, siapa tahu justru mereka yang lebih tangguh dan lebih kuat dari kita," saya memberikan argumen dengan suara selembut mungkin.


Istri saya mendengus kesal. Ia bangkit dari tempat duduk, bergegas masuk ke kamar kami. Saya tahu ia pasti menangis disana. Selalu begitu. Selalu.



Saya menghela nafas panjang. Betapa berat cobaan yang kami hadapi.


Setiap usai sholat berjamaah, tak henti-hentinya kami memanjatkan doa agar Allah SWT menganugerahkan kami keturunan. Air mata kami berdua berlinang membasahi pipi disela-sela lirih suara doa kami. Setelah itu kami berpelukan erat, membagi kesedihan dan beban yang menghimpit hati satu sama lain. Saya membelai kepala istri saya yang masih mengenakan mukena. Baju koko saya basah oleh airmatanya yang terus berderai. Demikian pula selalu kami lakukan ketika usai sholat tahajjud malam. Dalam keheningan, kami berdua seakan larut dalam khusyu' doa penuh tawadhu' agar anak yang kami impikan dapat segera hadir, mengisi hari-hari kami dengan tawa dan canda riang.


Pada sebuah kesempatan menonton televisi bersama, mendadak tangis istri saya meledak. Di tayangan yang sedang kami saksikan bersama tersebut ditampilkan sosok wanita yang masih berusia muda dan duduk di bangku SMA yang melakukan aborsi bersama sang pacar. Ia sedang diinterogasi petugas kepolisian saat kepergok akan mengubur bayi hasil hubungan gelapnya di kebun belakang rumahnya.


Sungguh hati kami berdua sangat remuk dan terluka menyaksikannya. Ketika kami sangat mendambakan kehadiran anak, ada pasangan—yang tidak resmi dalam sebuah ikatan pernikahan—dengan keji membunuh dan membuang jabang bayi hasil hubungan intim mereka. Istri saya sangat geram. Tak henti-hentinya ia mengutuk perbuatan perempuan muda dan pasangannya itu.


Pada hakekatnya jika dirunut dari sejarah genetis kami berdua dan garis keturunan masing-masing tidak ada masalah soal "produksi" anak. Saya adalah anak pertama dari empat bersaudara sementara istri saya adalah anak keempat dari enam bersaudara. Berdasarkan fakta tersebut, saya dan istri berfikir sesungguhnya peluang kami memperoleh keturunan sangatlah besar. Tapi akhirnya semuanya terpulang kembali pada kehendak Allah SWT, sang khalik yang Maha Kuasa atas nasib kami.


Sebenarnya sejak tahun pertama pernikahan, kami senantiasa melaksanakan ikhtiar sebaik mungkin agar bisa memperoleh keturunan. Tidak hanya secara medis. Tapi juga secara tradisional. Termasuk pula menuruti sejumlah saran dari keluarga dan handai tolan yang ikut prihatin atas "kemalangan" yang menimpa kami. Seorang kawan pernah menyarankan untuk meminum kelapa hijau muda yang sebelumnya sudah dibuka lalu di-"embun"-kan semalaman dihalaman depan rumah. Kegiatan itu lalu kami lakukan secara intens, setiap hari, selama seminggu berturut-turut hingga saya sempat merasa kembung gara-gara kebanyakan minum air kelapa. Dilain pihak istri saya sempat meminum berbagai macam ramuan herbal yang konon dapat menyuburkan rahim dan memperbesar peluang kehamilan.

Yang paling berkesan buat saya adalah, sayur toge!. Saya tak tahu apa yang menyebabkan istri saya begitu tersihir oleh omongan sejumlah orang bahwa toge memiliki khasiat ampuh untuk mempersubur dan mengaktifkan gerak sperma pria. Hampir tiap hari saya mesti makan toge dengan berbagai macam modifikasi menu masakan mulai dari tahu goreng isi Toge, gado-gado toge, pecel toge, tumis toge, Bakso toge, Jus Toge, Roti Bakar isi toge, Toge Mayonaise, Toge oseng-oseng, Gudeg Toge,Toge goreng mentega, dan lain-lain. Terus terang saya mengakui kehebatan istri saya meramu masakan dengan tetap menyertakan si toge sebagai andalan utamanya. Pada awalnya memang saya sempat protes, saat pulang kantor istri saya menyajikan sayur tumis toge diatas meja makan, menu serupa yang dimasak terus menerus sepanjang hari selama seminggu berturut-turut. Saat melihat sayur tumis toge itu diatas meja saya langsung berkomentar,"Yaaa….toge lagi…..toge lagi!".


Istri saya mesam-mesem dan saya akhirnya menyantap menu rutin itu dengan memantapkan tekad membara dalam hati sebagai wujud misi suci saya : menjalankan tugas sebagai pejantan tangguh!. Rupanya istri saya paham "bahasa tersirat" yang saya nyatakan. Dan keesokan harinya, saya menemukan menu-menu masakan bervariasi dengan tentu saja tetap menyertakan toge sebagai bahan utama. Saya sempat membayangkan betapa ribuan sperma-sperma yang saya miliki memiliki energi extra berkat stimulasi luar biasa dari si Toge-Joss. Bisa jadi diantara mereka saling bercakap begini :


"Busyeet nih..ekor gue udah pake tenaga jet "made in toge" buat nembus sel telor. Dijamin gue bisa meluncur 500 km/jam," kata si sperma bernama Tukul pada kawannya sembari mengacungkan ekornya (emangnya sperma punya jempol?).


"Sama Kul, gue udah coba kemarin. Mantap banget!. Wuss..wuss..wuss..gue larinya cepat banget. Emang abang kita ini sangat tahu kebutuhan kite. Semoga aja dia terus-terusan makan toge," sahut kawannya yang bernama Pepi.


Tapi..strategi menyantap toge joss secara rutin tetap tidak berhasil.


Istri saya belum hamil juga.


Kami tetap tidak putus asa.


Strategi lain adalah mencoba berbagai posisi-posisi berhubungan intim yang memiliki kemungkinan besar untuk memperoleh anak. Hasilnya?. Bukan main!. Badan saya dan istri jadi pegal-pegal akibat berakrobat ria dengan berbagai posisi-posisi aneh. Tukang urut langganan sayapun jadi "panen" order. Mendadak pula si tukang urut saya yang memiliki 5 orang anak dari dua istri itupun menjadi teman curhat saya dalam soal menggali kiat-kiat jitu memperoleh anak. Maka mengalirlah sejumlah advis-advis professional dari mulutnya, dimana jika dijadikan disertasi S-3 di UTPI (Universitas Tukang Pijat Indonesia) dapat diberi judul : Telaah Kritis atas Posisi Seksual yang efektif dalam menghasilkan anak dihubungkan dengan Titik-Titik pengurutan potensil pada tubuh sebagai sebuah upaya progresif antisipatif untuk membentuk masyarakat Madani Indonesia dimasa depan dan usaha intensif mencapai Millenium Development Goal -- Sebuah studi kasus komprehensif dan kajian reflektif atas pasangan Amril-Sri di usia dua tahun pernikahannya (weleh..weleh..ribet banget ya?).


Kami juga telah melakukan pemeriksaan medis yang dilaksanakan di rumah sakit.Mitra Keluarga Bekasi. Semula hanya istri saya saja yang diperiksa. Hasilnya : tidak ada masalah fisik secara signifikan pada istri saya untuk menghasilkan anak. Semuanya normal. Istri saya hanya diberi obat "penyubur"kandungan.


Atas saran dokter yang memeriksa istri, sayapun ikut menjalani pemeriksaan. Semula saya menolak, karena selain saya menganggap—tentu secara sepihak-- sejauh ini "baik-baik saja" juga saya sungkan menjalani pemeriksaan yang pasti melibatkan alat vital yang saya miliki. Namun istri saya terus mendesak, saya akhirnya menyerah. Ini demi kami juga. Demi anak yang sudah lama kami dambakan. Hasilnya juga melegakan. Saya normal. Artinya, secara fisik, saya memiliki peluang besar untuk memiliki anak.


Kami berdua sempat putus harapan. Sampai kemudian, kakak ipar saya di Tanjung Priok menyarankan kami berdua untuk urut pada seorang nenek yang konon sudah terbukti kemampuan jari-jari ampuhnya membuka peluang bagi pasangan suami istri untuk mendapatkan anak. Saya sempat merasa itu bukan merupakan hal yang perlu lagi. Bukan apa-apa. Setelah sekian banyak ikhtiar yang sudah kami lakukan dan belum mendapatkan hasil, maka saya kira sudah saatnya kami tiba pada taraf pasrah dan tinggal menunggu takdir yang sudah ditentukan Allah SWT kepada kami. Apapun yang menjadi kehendakNya kelak, kami akan menerimanya dengan hati lapang.


Tapi istri saya begitu bersemangat. Ia lalu mengajak saya bersama-sama ke rumah kakak perempuannya di Tanjung Priok untuk kemudian menemui si nenek sakti mandraguna tadi. Dengan diantar oleh Mbak Surat, kakak perempuan istri saya, kami lalu menuju rumah si nenek.


Tiba disana kami disambut dengan hangat. Nenek berdarah betawi asli yang berusia kurang lebih 70-an tahun itu masih terlihat gesit diusianya yang kian renta. Pada awalnya istri saya yang dipijat terlebih dulu dan saya menunggu diluar bersama suami Mbak Surat. Sekitar setengah jam kemudian, saya dipanggil kedalam oleh istri saya.


"Sekarang giliran elu!" kata si nenek dengan sorot mata tajam "memaku" tubuh saya yang terkesima.


"Kok saya, Nek?. Nggak usahlah, istri saya kan' udah tuh!" saya mencoba protes. Terbayang dalam benak saya jari-jari keriput si nenek menjelajahi perut dan wilayah "rawan" saya dengan lincah. Sungguh menggelikan.


Juga mengerikan.


Si Nenek menggeleng tegas.


"Elu juga kudu dipijet!. Jangan mau enak-enakan aja, lu!. Udah, elu buka tuh baju dan baring telentang disini!" perintah si nenek galak seraya menunjuk dipan didepannya.


Saya memandang istri dan kakaknya dengan wajah memelas mohon pengertian dan rasa solidaritas mereka. Tapi mereka berdua diam dan balas menatap saya dengan penuh keyakinan.


"Udahlah, dik. Ikuti aja apa maunya. Paling Cuma dicek aja. Nggak lama kok," ujar Kakak Ipar saya menenangkan.


"Betul, apalagi kata Nenek, rahimku nggak masalah kok. Pokoknya normal. Sekarang kamu juga mesti diperiksa, siapa tahu justru masalahnya ada sama kamu,," imbuh istri saya.


"Tapi kan'….", saya masih mencoba protes dengan argumentasi pamungkas.


"Tapi apa?" tanya istri saya memotong.


Saya mendekat dan membisikkan sesuatu ditelinga istri saya dengan lirih.


"Bukan muhrimnya!"


Istri saya tertawa berderai dan balas membisiki saya.


"Ingat sayang, ini demi bakal anak kita. Just do it, my man!"


Saya menyerah.


Kata-kata "demi bakal anak kita" begitu ampuh menggugah nurani saya paling dalam, menepis kengerian digerayangi jari-jari keriput yang terbayang akan saya alami tidak lama lagi.


"Eh..elu kok diem aja, udah..buka baju dan baring telentang sono!"teriak si Nenek garang


Saya menghela nafas panjang. Mengumpulkan keberanian yang masih tersisa. Kakak Ipar saya sudah menyusul suaminya diluar. Di bilik ini hanya saya, istri saya dan si nenek eksekutor itu.


Saya sudah telanjang dada. Kemeja dan kaos singlet saya sudah saya copot dan dipegang oleh istri saya.


"Celana juga. Sisain kolor elu doang!. Pake sarung tuh kalo malu ama gue yang udah bangkotan kayak gene!,"tegas si nenek lagi seraya menunjuk sarung butut miliknya untuk dipakai.


"Ko…ko..kolor doang ? Ini yang mau dipijit apanya sih, Nek " saya tergagap. Istri saya terlihat menahan tawa.


"Pake tanya-tanya lagi. Pokoknya elu tinggal diam dan telentang. Jangan banyak bacot. Cepetan !. Pake tuh sarung!" seru si Nenek kencang. Saya langsung merinding.


Akhirnya saudara-saudara, sayapun pasrah tidur telentang dan mencoba sensasi dipijat dengan jari-jari keriput (tapi ampuh) milik si Nenek dengan mata terkatup.


Mulanya sekitar dada dan perut saya yang dipijat. Saya mengerang menahan rasa geli yang melanda. Istri saya duduk disamping kepala saya sembari terus-terusan memandang penuh cinta yang tulus seakan-akan berkata : "Come on my man, ini demi bakal anak kita!". Dan demi itu pula saya mencoba kuat dan tetap bertahan. Seraya menggigit bibir bawah, saya memejamkan mata dan membayangkan tampaknya cara pijat ala nenek ini bisa menjadi salah satu alternatif paling manusiawi dalam menjalankan eksekusi hukuman mati bagi seorang terpidana.


Sampai kemudian, saat jari-jari ampuh si nenek mendekati "daerah rawan", saya sudah tak tahan. Rasa geli sudah mencapai ke ubun-ubun. Dan…


JDUGGG…!!!


Tendangan saya keras menghantam lutut si nenek dan membuatnya terjengkang terguling-guling kebelakang.


"BUJUBUNE!!", seru si Nenek itu kencang.


Istri saya kaget dan tergopoh-gopoh menolong si nenek yang berusaha bangkit.


Uluran tangan istri saya ditepisnya dengan kasar. Nenek tersebut lalu datang kearah saya yang saat itu sudah duduk berjongkok dan meringkuk dengan sarung menutupi badan. Saya benar-benar shock. Sangat shock!.


Matanya menyala. Sumpah serapahpun menyembur deras dari bibir nenek itu.


"Kurang ajar lu, ye!. Gue udah capek-capek nolongin elu pade, malah dikasih tendangan. Emangnye gue bola?. Anak gue sendiri juga pasien gue yang laen kagak ada yang berani dan tega nendang gue. Elu kagak liat ape, gue udah bangkotan kayak gini?. Kalo gue koit gara-gara elu sepak, elu mau tanggung jawab?"


"Maaf, Nek..tadi saya kegelian waktu diurut, jadi spontan aja saya…", dengan suara lirih dan wajah pucat saya memohon ampun dari si nenek, namun langsung dipotong dengan suara menggelegar dari si nenek.


"UDAH! UDAH!..Bubar aja!. Gue udah kagak demen lagi ngurut elu yang doyan nyepak nenek-nenek kayak gue. Kalo gue lanjutin, bisa mampus gue. Pulang aja dan jangan pernah coba-coba kesini lagi!"


Saya dan istri mengangguk pelan. Rasa bersalah menggelayuti batin kami saat itu.


Setelah mengucapkan maaf berkali-kali dan tambahan tips urut, kami pun pamit dan pergi dari rumah sang nenek. Sepanjang jalan saya meringis, pinggul saya habis dicubiti dengan gemas oleh istri saya.


Setelah kejadian itu, kami tetap tidak kapok, ikhtiar memperoleh anak terus kami lakukan meski kemudian saya mengajukan syarat tambahan ke istri, bahwa—berdasarkan pengalaman sebelumnya—saya tidak akan pernah mau diurut. Istri saya cukup mengerti syarat tersebut selain untuk menghindari jatuhnya korban nenek-nenek yang kena tendangan juga jangan sampai saya, suami tercintanya yang ganteng ini, masuk bui gara-gara diadukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Nenek (emang ada ya?) karena tidak berperi-kenenek-an .


Atas rekomendasi saudara sepupu istri saya, kami mencoba urut di rumah Mak Wari (sudah almarhumah, wafat tahun 2005) di daerah Gang Camat Lenteng Agung Jakarta Selatan. Ketika itu nenek yang telah berusia mendekati 100 tahun tersebut memang sudah punya "nama" sebagai dukun pijat yang memilki kemampuan membantu pasangan yang sulit memperoleh anak. Atas analisa "tradisional"-nya yang mumpuni, Mak Wari menyatakan rahim istri saya turun dan akan dilakukan "rehabilitasi" setelah 4-5 kali kunjungan kesana.


Pada kunjungan kelima, Mak Wari yang berdarah asli Betawi itu berkata kepada saya dan istri,"Insya Allah bakal jadi deh anak kalian. Berdoa aje yang banyak. Kalau kagak salah, anak pertama elu itu Laki-laki dan yang kedua nanti perempuan".


Saya merasakan istri saya menggenggam jemari saya begitu erat. Bibirnya tersenyum penuh arti. Saya masih ingat betul saat itu bulan Februari 2002, memasuki tahun ketiga usia pernikahan kami.


Pada sekitar awal Maret 2002, sepulang kantor saya terheran-heran menyaksikan istri saya tersenyum-senyum sendiri.Tampaknya ia memegang sesuatu dibalik punggungnya. Saya tidak mampu menerkanya itu apa. Saya lalu duduk di kursi tamu rumah kontrakan kami di Kompleks POMAD Kalibata (sejak pindah bekerja di PT.Inti Jatam Pura Agustus 2001, kami sekeluarga "hijrah" dari Taman Aster Cibitung ke rumah kontrakan baru).


"Kenapa sih kamu ketawa-ketawa, senyam-senyum sendiri?", tanya saya sembari membuka sepatu.


Istri saya tak menjawab. Ia mengangsurkan sesuatu benda ke hadapan saya. Sebuah alat uji test kehamilan.


Saya mendelik heran, ini apa maksudnya?.


"Lihat aja deh. Tapi baca dulu petunjuknya di sampul depannya baru lihat indikatornya," kata istri saya tenang dengan senyum manis yang masih melekat dibibirnya.


Tak berapa lama kemudian, mata saya melotot dan hati saya membuncah. Bergemuruh.


POSITIF!. Istri saya positif hamil!.


Saya langsung berjingkrak-jingkrak dan menari kegirangan.


Tak peduli sedikitpun pada tetangga sekeliling dengan heboh saya mengajak istri saya berdansa di ruang tamu sempit kontrakan kami. Saya merasa bahagia. Bahagia luar biasa. Akhirnya apa yang kami impikan selama ini terwujud sudah.


Malam harinya seusai menyantap sate kambing Haji Thohir Pasar Minggu, sebagai bentuk "perayaan kecil" atas kehamilan istri saya, kami berdua mengucap syukur tak terhingga kepada Allah SWT yang akhirnya memberikan kami kepercayaan untuk dapat memperoleh anak. Usai sholat Tahajjud, kami berdua menangis dalam keheningan malam. Saya membelai kepala istri saya yang masih mengenakan mukena. Baju koko saya basah oleh airmatanya yang terus berderai. Sama seperti waktu-waktu sebelumnya, namun kali ini, tangis saya dan istri saya adalah tangis kebahagiaan.



Akhirnya, tanggal 25 November 2002, anak pertama kami, Muhammad Rizky Aulia Gobel lahir kedunia dengan operasi Caesar, menyusul kemudian adiknya, Alya Dwi Astari Gobel lahir Tanggal 11 November 2004 juga keluar lewat "jendela". Keduanya menatap dunia untuk pertama kali dalam Bulan suci Ramadhan.


Saya tersenyum.


Dan dipucuk malam, usai sujud panjang saya selepas sholat Tahajjud, pelupuk mata saya basah oleh air mata.Betapa kami sangat bersyukur atas karunia dan berkah tak putus-putus yang dianugerahkan Allah SWT kepada kami berupa amanah yang sungguh tak ternilai harganya : Rizky dan Alya. Dalam hati saya bertekad untuk menjaga amanah berharga ini dengan sebaik-baiknya. Perjuangan saya sebagai calon ayah—setelah menunggu 3 tahun—mungkin sudah usai, namun perjuangan saya sebagai ayah akan terus berlanjut.


Catatan :


Posting ini dibuat dari kamar 207 di Rumah Sakit Harapan International Cikarang, saat menjagai anak saya, Rizky yang tengah dirawat inap karena sakit Typhus

Label: